Cinta Dan Semesta
Saat itu malam menjeratku erat. Aku tak dibiarkannya jatuh
dalam ruang mimpi. Pagi belum tiba aku beranjak menuju tempat berudara dingin
namun hangat dengan tawa canda. Beberapa pasang mata tampak penuh keyakinan,
ada yang terlihat penuh ambisi, ada yang kosong seperti mencari jiwanya yang
belum tentu juga akan ia temukan disana. Segelintir pasang mata yang lain masih
ragu dengan pilihannya.
Selepas beberapa bait doa yang kami “haturkan” dini hari itu,
aku dan yang lain berjalan menikmati dingin angin malam. Bulan yang iba,
memantulkan cahaya mentari ke bumi. Beberapa kali canda tawa pecah dimulut
kami. Namun tak cukup lama sampai akhirnya beberapa mulut melempar keluh.
Seolah tak percaya pada Sang Empunya Semesta.
Keluh itu cukup mengganggu, walau tak cukup menandingi
keangkuhan dalam menghancurkan sebuah perjalanan. Aku hening dan mencoba
berbisik pada diriku sendiri.
“Hai, apakah kamu ingin melihat sunrise yang indah diatas
sana?”
Tak ada yang menjawab bisikan itu. Namun aku mengerti mengapa
malam sunyi dan angin terus saja berhembus.
“Mereka ingin menunjukan bahwa angin tetap mengajak pohon dan
dedaunan menari walau hanya gelap yang mereka temui sepanjang malam.” Pikirku.
Tak terasa setengah perjalanan telah terlampaui. Masih
bersama gelap, angin dan suara riuh dedaunan. Penerang jalan dan rumah-rumah
dibawah sana terlihat menggantikan bintang dilangit saat kabut malam mulai
masuk dalam pesta kala itu. Keluh kesah masih saja terdengar dari wajah-wajah
ragu itu. Mungkin sebaiknya aku bercerita tentang ujung jalan perjalanan ini,
dimana mungkin wajah bahagia dan seringai kepuasan merona dalam tatapan kosong.
Kaki-kaki yang goyah sedari tadi t’lah tiba pada tanah tempat
penantian. Tanah yang belum pernah dijumpai, namun kemudian menjadi akrab. Ketika
tiba masih dalam sunyi, namun sekejab mata telah menjadi lautan manusia.
Ah sudahlah, disinilah pilu itu berbicara. Saat mataku harus
melihat kertas-kertas itu menjadi tumbal bagi pencarian akan kekosongan diri. Mereka
lupa, sepanjang matanya memandang hanyalah pepohonan hijau segar nan cantik dan
anggun. Kertas-kertas putih itu dikandung oleh pepohonan cantik yang sedari
tadi saling berpelukan mesra didalam gelap.
Kini mereka menanggung malu membawa pesan yang tak seharusnya
mereka bawa. “Selamat pagi Cantik”, Selamat Pagi Dunia, Hai, Indonesia Indah
Lho, Jangan Dirumah Terus.” Itu beberapa pesan yang sebenarnya kertas-kertas
itu t’lah sampaikan sejak ia dalam kandungan si pohon.
Seyakin pada jalan pulang, akupun yakin bahwa sebenarnya
mereka (kertas-kertas) tak ingin lagi menyapa pagi dengan kata-kata itu dalam
keangkuhan. Banyak diluar sana yang merasa mereka t’lah menikmati alam ketika
berada diatas awan. Tak sedikit dari mereka mengira hanya itu cara menikmati
alam. Banyak dari mereka yang menganggap berdiri diatas awan adalah wujud cinta
yang begitu besar kepada semesta alam. Ya mungkin mereka benar, karena bukan
benar dan salah yang kita cari. Bukan hak kita menamai wujud cinta dengan
kesalahan.
Setiap makhluk punya caranya sendiri untuk menikmati
ciptaan-NYA. Setiap makhluk punya caranya sendiri dalam mencintai semesta.
Jangan ukur dalamnya cinta dari perlakuannya. Dia yang tak pernah berdiri
diatas awan atau menapaki belantara hutan di banyak tempat belum tentu lebih
kecil cintanya pada alam semesta. Tapi mereka yang datang ke banyak tempat namun tak
menjaga alam, tak kan bisa dikatakan memiliki cinta yang besar pada alam.
Bukankah “cinta” adalah tentang memberi. Memberi diri kepada dia
yang tak menuntut apapun dari kita. Bukankah cinta melahirkan kebebasan.
Kebebasan menikmati, kebebasan mensyukuri, kebebasan memuji dan kebebasan
memberi tanpa rasa menuntut.
Seperti pepohonan dihutan belantara sana yang tak pernah menuntut kita datang dan memberinya air. Seperti pasir ditepi lautan sana, ia tak pernah marah pada kaki-kaki yang menari bersama ombak diatasnya. Seperti angin yang tak menuntutmu untuk menyapanya saat ia terburu-buru menerbangkan layang-layang.
Komentar
Posting Komentar