Cerpen : Percakapan dalam Hujan


Aku baru saja masuk ke sebuah kedai kopi, ketika ku sadari gawai dan komputer jinjingku tertinggal di meja kantor. Mungkin karena terlalu terburu-buru pergi sebelum hujan datang. Karena di luar sana langit telah membawa teror yang luar biasa mengerikan bagi pejalan kaki yang lupa membawa payung. Bahkan juga kepada pengendara sepeda motor yang juga lupa jas hujannya.

Di sepanjang perjalanan dari kantor juga orang-orang mempercepat langkahnya. Beberapa pedagang kaki lima mulai berkemas tergesa. Jalanan seketika padat, dan tersendat di beberapa titik jalan. Suara bising klakson menggema di hampir semua jalanan kota. Segalanya begitu cepat berubah, tawa riang bahagia bisa dengan segera berubah menjadi tangis duka yang dalam. Tetapi bukankah memang begitu indahnya. Hidup dengan kejutan-kejutan yang tak pernah kita tahu.

Meja kosong dekat jendela kaca yang luas menjadi singgasanaku sore ini. Tempat yang strategis. Dari sini aku bisa menyaksikan riuhnya jalanan tanpa suara bisingnya. Menyaksikan langit dengan awannya yang bergerak tak kalah cepat dari mobil-mobil di jalanan. Di sini aku bisa merasakan sepi dalam kesibukan jalanan kota. Memang itu yang ku cari di tempat ini. Secangkir kedamaian di kota yang sibuk dan buas. Kota besar memang selalu mengorbankan mereka yang lemah dan tak berdaya, secara materi. Setidaknya itu bukan hanya kata-kataku.

Duduk di bangku kedai kopi dan sendiri seperti ini sudah sangat cukup memabahagiakan bagiku. Karena sayangnya, banyak orang yang tak mampu menikmati hal-hal sederhana seperti ini. Terlalu banyak yang mereka inginkan untuk dapat dikatakan bahagia. Orang-orang sekarang lebih senang menciptakan standar bagi kebahagiaan mereka sendiri. Kemudian menilik kehidupan orang lain. Lalu dengan sia-sia mereka ciptakan lagi standar-standar baru untuk kebahagiaan mereka. Seterusnya tanpa ada putusnya. Setidaknya hingga mereka sendiri sadar. Kebahagiaan bukan datang dari luar diri mereka, tetapi keluar dari dalam diri mereka. Wujudnya senyum, tawa dan rasa syukur.
Setelah beberapa menit datang juga pesananku. Espresso tanpa gula. Dengan rasa yang begitu kuat dan khas sesuai jenis dan asal biji kopinya. Kemudian aku tahu espresso milikku ini terbuat dari biji kopi pilihan dari daerah Cunthel. Sebuah daerah di lereng gunung Merbabu di Jawa Tengah. Memang belum begitu terkenal, namun tak kalah nikmat. Maklum begini-begini aku juga penikmat kopi. Walau masih bau kencur.

Terlihat meja-meja lain mulai ramai. Mulai di penuhi karyawan-karyawan muda yang baru pulang dari bekerja sepertiku. Tak dapat di pungkiri lagi memang, berkumpul bersama kawan di kedai kopi sehabis bekerja sungguh nikmat. Seketika semua beban rasanya hilang menguap ke langit-langit kedai. Ditambah hangatnya kopi melegakan sesak di dada. Surga kecil di kota-kota besar, kedai kopi.
Kini aku sibuk sendiri dengan pikiranku. Aku biarkan orang-orang dengan perbincangan mereka masing-masing. Ku tenggelamkan khayalku dalam lamunan-lamunan. Sambil sesekali ku teguk espresso yang masih hangat. Dalam keheninganku ini, tiba-tiba terbersit beberapa bait puisi. Entah darimana datangnya. Maka dengan segera ku tuliskan pada kertas-kertas catatan kecil yang biasanya kugunakan mencatat tugas-tugas kantor agar tidak lupa.

Perbincangan dalam Hujan

Di luar sana langit tak lagi berwarna
Awan tak lagi jauh di atas sana
Ia turun menyambangi atap-atap
Memaksakan dingin menguasai kota

Di dalam sini aku terduduk tenang
Aku biarkan suara gitar banjiri benakku
Hawa dingin juga ku rasakan menjerat
Bekukan mulutku yang tak mampu berkata

Ternyata hujan t'lah tiba sayang
Ia tak mengetuk dan permisi
Tiba-tiba rintiknya samarkan tangisku
Hujan merenggut senja kita yang jingga, sayang

Tahukah sayang, aku benci hujan kali ini
Karena ia tak mampu basahi hatiku
Hati ini tetap kering di bawah guyurnya
Ia juga berbisik mengejek tangisku

Jika malam nanti hujan ini tak juga reda
Kan ku simpan semua awan dan kabut dalam paru-paruku
Agar esok datang hari baru yang biru
Dan kan ku bayangkan di sana ada senyummu

Hujan mulai turun. Terlihat orang-orang berlarian tak tentu arah. Beberapa bahkan bertabrakan dan terjatuh. Menghidari hujan dengan sebegitu takutnya. Padahal di kampungku, orang menanti-nantikan hujan. Berharap tanah-tanah tandusnya segera diairi dan diolah kembali. Tetapi di kota, orang takut dengan hujan. Satu jam saja hujan sederas ini, pasti jalanan mulai tergenang.
Setelah jalanan kembali tenang dan menyisakan hujan yang begitu anggun, anganku kembali terbenam. Kembali mengingatnya yang mengintip dari jendela kenangan. Ia yang menjadi ibu bagi terlahirnya puisi-puisiku hari-hari ini. Aku bahkan lupa, sudah berapa puisi yang terlahir sejak detak jantung kami tak lagi seirama. Terlalu banyak, barisan kata-kata indah itu sering datang begitu saja. Memang puisi itu bahasa hati. Ketika bibir tak mampu lagi berucap, maka puisi menyuarakannya dalam nada-nada yang hening.

Bagaikan petir di tengah hujan ini, tiba-tiba ia datang. Ia yang kepergiannya membuatku melahirkan ratusan puisi. Melangkah cepat menghindari basahnya rintik hujan. Ku ikuti langkahnya dengan lekat. Ia masuk ke kedai kopi tempatku berada sekarang. Ku lihat tak ada bangku kosong lagi selain bangku kosong tepat di hadapanku. Jantungku mulai berdebar-debar. Nadiku berdenyut lebih kencang. Ku rasasakan aliran darahku dengan arus yang begitu kuat. Raut wajahku mulai tampak tegang. Pikiranku mulai ramai seperti pasar. Kata-kata berlarian kian kemari tak tentu arah. Sibuk menentukan kalimat pertama yang akan ku ucapkan ketika nanti ia benar-benar duduk di hadapanku. Begitu banyak percakapan di kepalaku. Sungguh perasaan yang aneh bukan kepalang. Waktu seakan menjadi teramat lambat, satu menit yang terasa seperti satu jam.

Ku buang tatapanku kepada hujan di luar sana. Semoga Tuhan juga menurunkan obat penenang bersama jatuhnya hujan. Tak sedikitpun aku berniat memalingkan wajahku kepadanya. Ku benamkan sungguh-sungguh pandanganku kepada hujan sore itu. Seketika terdengar suara bangku kayu berderit. Spontan wajahkan menoleh dan ku dapati ia tersenyum menyapaku.

"Hai, sudah lama?"
"Eeh hai, baru aja." sautku sambil melirik kopi di cangkir yang pasti habis sekali teguk.
"Boleh kan aku duduk?"
"Silahkan, itu kosong kok." jawabku dengan gugup. Aku yakin ia juga pasti bisa merasakannya. Ku paksakan untuk ganti bertanya kepadanya.
"Sudah pesan?"
"Sudah, mas Tio (barista) sudah hafal kok. Cuma tadi aku pesan juga sup ayam pedas. Biar jadi hangat." Ia katakan kalimat itu dengan begitu santai dan diakhiri senyuman. Membuatku semakin gugup. Aku heran, mengapa tiba-tiba segugup ini. Kami belum lama berpisah, mungkin baru sekitar dua bulan yang lalu. Dan beberapa kali juga bertemu, dalam media sosial ataupun langsung seperti ini. Tetapi sore ini berbeda.

"Aku sudah baca suratmu kemarin malam." ia berkata pelan tanpa menatapku.
Aku tak menanggapi kalimatnya itu. Karena masih sibuk dengan rasa gugupku. Apalagi ia membahas tentang surat itu. Gugupku jadi tak kunjung surut.
"Oh iya, aku juga pesenin espresso kesukaanmu tadi. Biar kamu semakin lama disini, nemenin aku makan. hehe" sekali lagi ia berkata dan mengakhirinya sengan tawa kecil.
"Wah, terima kasih. Semakin tak bisa tidur aku malam ini. hehe" ku ikuti gayanya berbicara walau sedikit lebih kaku. Setidaknya aku mencoba untuk sedikit lebih tenang.

bersambung...


Matheus Aribowo
Salatiga, 18 Juli 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diambil dari : Suar Aksara - Sudah Saatnya (Bandung)

Puisi : Kamus Kecil - Joko Pinurbo

51 yang (Ber)lalu