Peran dan Pesan
Sore semakin tunduk pada gelap.
Pertanda malam segera menunjukan eksistensinya. Sebuah rumah sederhana sediakan
halamannya agar beberapa anak berdoa memohon pada Tuhannya. Sinar harapan
terpancar dari wajah-wajah yang terhanyut dalam doa. Seperti sekelompok domba
yang terpisah dari kawanannya, dan perlahan melihat cahaya penerang yang dibawa sang Gembala yang setia mencari domba-dombaNya yang terhilang.
Sebelum malam semakin larut, kami
bersama menuju Ungaran (nama daerah di Jawa Tengah). Perlahan tapi pasti, kini
kami telah memasuki gerbang kampus STT Abdiel di Ungaran. Terlihat beberapa
mahasiswa rapi dan bersiap memulai malam puncak ospek mereka. Acara itu pulalah
yang membuat kami berdiri ditempat ini sekarang. Bukan untuk kami, kami datang
membawa pesan tentang betapa baiknya Tuhan mengijinkan kami datang ketempat
ini.
Tak lama setelah serangkaian
acara yang menarik dan hangat, kami mendapat giliran untuk disaksikan puluhan
pasang mata disana. Tak terasa tiga lagu telah selesai kami bawakan dalam
suasana hangat malam itu. Kami tak berharap mereka ingat dan mengingat
penampilan kami. Namun kami berharap mereka selalu ingat pesan yang kami bawa.
Masih melanjutkan rangkaian acara
ini, api yang menari ditubuh kayu bakar menambah terang dan hangatnya malam
ini. Namun dingin malam tak hilang begitu saja. Karena ketika kami beranjak
meninggalkan acara ini, dingin malam kembali memeluk kami. Kami yang t’lah
berkawan dengan dingin malam, takkan menolak pelukan malam. Karena kami sadar,
malam hanya memainkan perannya. Ketika esok pagi datang, kami juga takkan
menolak hangatnya sinar mentari. Karena ia juga hanya memainkan perannya.
Sepanjang kami menapaki jalanan
yang juga hanya memainkan perannya, kami belajar tentang betapa indah dunia ini
dengan peran yang Tuhan t’lah sediakan untuk kita mainkan. Mereka yang tak
memainkan perannya dan mungkin yang tak pernah puas dengan perannya hanyalah
wujud dari ketidak mampuan mereka menemukan peran yang seharusnya dimainkannya.
Kami juga sadar benar, bahwa ada cara untuk memahami peran yang seharusnya kita
mainkan.
Dekat dengan sang Sutradara,
komunikasi dengan baik dengan sang Sutradara dan membaca manual book untuk peran kita adalah cara terbenar. Percaya pada
sang Sutradara adalah satu-satunya cara mendapatkan akhir cerita terbaik dari
peran kita.
Kembali pada cerita tentang kami
malam itu, dan kembali pada perjalan berangkat dari Salatiga menuju Ungaran.
Seorang teman yang bertahun-tahun (sejak lulus SMP sampai sekarang seharusnya
sudah kuliah) hidup dijalanan, bercerita tentang keterpurukannya, tentang “penderitaannya”.
Tentang pahit manisnya hidup dijalanan. Tentang sebuah kerinduan yang ia
rasakan. Tentang sebuah harapan yang ia percayai dan takkan pernah ia lepaskan.
“Sampai kapan hanya seperti ini?”
pertanyaan ini seketika muncul dibenaknya. Disusul sebuah harapan yang kuat
tentang masa depan. Membawa angannya melayang bersama dengan kenangan masa
lalunya. Tak ada nada kebencian dan kesedihan terdengar dari bicaranya. Aku
merasa ada sebuah pengampunan yang luar biasa. Seorang anak yang mengampuni
masa lalunya, seorang anak yang tak lagi terbelenggu pada kehidupan kelam.
Seseorang yang perlahan mengejar cahaya lampu yang dibawa sang Gembala yang
setia mencari dan menunggunya pulang.
Setiap orang memiliki peran yang
harus dimainkannya. Setia pada process dan tetaplah berpengharapan. Tak ada
yang mudah, dan hidup tak selalu indah. Tapi pengharapan kepada sang Gembala
dan sang Sutradara adalah cara terindah untuk menikmati hidup.
Pict : https://soldatodelre.files.wordpress.com/2014/09/shepherd-by-reza-vaziri.jpg
Komentar
Posting Komentar