Nama di sebuah Pintu
29/01/2015
Dua buah bangunan berbincang
diujung pagi disudut kota dekat perempatan jalan. Sungguh begitu dalam
perbincangan mereka. Seorang nenek memakai sweater rajut berwarna putih usang berhenti
tepat di depan kedua bangunan itu. Dengan sayu, tatapan si nenek tak berpaling
pada riuhnya lalu lintas manusia “sok sibuk” dijalanan. Kedua bangunan tampak
melirik si nenek dengan salah satu jendela mereka. Atau aku pikir mungkin angin
yang menggerakkan jendela itu. Nada lirih terpaan angin pada jendela rumah itu
membuat kerut pipinya mengencang seperti bayi.
Tapi tunggu, lalu apa yang kedua bangunan
itu perbincangkan? Sepeduli apa si nenek pada perbincangan dua bangunan rapuh
yang seakan tak berharga. Lihatlah dedaunan kering berlarian dihalamannya.
Rumput liar tak ragu lagi bertumbuh dan dengan bangganya menutup tanah kering
di halaman. Tikus-tikus berlari-lari riang menunjukan sekarang dialah penguasa
tempat itu. Laba-laba berebut sudut ruang dengan nyamuk yang malas seakan ada
darah yang bisa delivery order. Tapi
tunggu, apa yang kedua bangunan itu bicarakan sedari tadi?
Terlihat salah satu bangunan tak
mampu menahan tangisnya. Ketika dia ceritakan sebuah kehidupan kepada bangunan
disebelahnya. Bangunan rumah (iya semua orang menyebutnya rumah) dengan halamannya
yang tak begitu luas itu dulunya adalah sebuah rumah. Rumah penuh keceriaan,
rumah tempat pulang bagi banyak anak-anak yang sorot matanya terus mencari arti
kehidupan.
Anak-anak yang tak henti tertawa dalam kebersamaan. Anak-anak yang menikmati setiap bisingnya klakson tanda tak sabar dari pengendara yang lewat. Anak-anak yang setiap hari hanya ingin melihat senyum di bibir teman-temannya. Anak-anak yang terus bertanya “untuk apa aku berdiri ditepian jalan dan memberimu sebuah lagu yang tak kamu suka?” Anak-anak yang tak pernah mengerti siapa dan apakah “anak jalanan” itu?
Anak-anak yang tak henti tertawa dalam kebersamaan. Anak-anak yang menikmati setiap bisingnya klakson tanda tak sabar dari pengendara yang lewat. Anak-anak yang setiap hari hanya ingin melihat senyum di bibir teman-temannya. Anak-anak yang terus bertanya “untuk apa aku berdiri ditepian jalan dan memberimu sebuah lagu yang tak kamu suka?” Anak-anak yang tak pernah mengerti siapa dan apakah “anak jalanan” itu?
Seorang pengendara sepeda tua
menyapa si nenek dan berkata ; “Terkadang
(bangunan) rumah membawa kita pada rekaman masa lalu, tetapi cinta membuat kita terus hidup walau
mungkin dunia t’lah berlalu.”
Kedua roda sepeda tua itu kembali
berputar, meninggalkan si nenek yang terus menatap bagian atas pintu salah satu
bangunan itu. Disana tertulis sebuah nama yang sama dengan nama pada batu nisan
yang ia kunjungi disetiap ujung pagi.
Pic : http://nukilangadiskampung.blogspot.com/2014/06/andai-aku-miliki-semua.html
Komentar
Posting Komentar