Rumah Tak Bertembok

31/01/2015

Sebuah meja segitiga duduk bosan dihadapan sebuah TV besar berwarna hitam. Mereka saling acuh dibawah kilau cahaya lampu berlian penuh pernak-pernik. Dua sofa hangat tampak berjejer dekat meja yang masih muram. Senyum gambar dibalik bingkai kaca yang terikat rapi oleh empat batang kayu pun tak mampu manghapus kerut dahi si meja. Bahkan dinding pun terlihat malu berdiri membawa bingkai kayu itu.

Seekor kucing hitam mengintip kaku dari balik jendela berkaca hitam dengan sedikit celah disudutnya. Suara detak jam dinding tak cukup kuat melawan percakapan politisi yang membual di layar TV. Angin mengalir dengan irama, namun tak ada yang turut berdansa disana.

Seorang remaja berjalan mendekat dan mengganti aksi dua politisi dengan drama monotone yang membuat kucing pergi tanpa suara. Pria berdasi hitam dengan tas dan jas ditangannya duduk di sofa hangat yang seketika berubah dingin. Tanpa sapa, sang remaja mengisyaratkan untuk tak mengisi kata pada tatap matanya. Suara angin begitu resah memberontak keluar dari mulut sang Pria, “hhhhhhhhhhhhhhhh....” no no no, tidak sepanjang ini. Hanya “hhhh....” oke cukup.

Dua pasang mata berkhianat pada TV, sorot mata penuh kata menatap pada gang kecil diluar jendela hitam. Seorang gadis kecil berbaju putih berlari menuju sudut gang, memaksa dua pasang mata mengikutinya. Sepasang kaki mungil dan dua pasang mata berhenti dengan serentak. Terhenti pada gubug kecil diatas genangan air tempat “bersalin” beberapa keluarga nyamuk.

“Halo Ibu, ini tempenya baru selesai ayah goreng dirumah.” Suara merdu sehangat tempe goreng keluar dari bibir tipis gadis kecil itu. “Semoga hari ini semua tempe gorengnya laku ya Bu” celetuknya lagi. “Amin, kupu-kupu kecilku” sahut perempuan pemilik tangan kurus yang mengusap pipi merah jambu sang gadis kecil. “Ibu, sebentar lagi ayah datang membawa sesuatu buat Ibu” bisiknya pelan sambil mempertahankan senyum manisnya.

Sandal tipis menopang sepasang kaki untuk berjalan menuju gubug. “Hai bunga dan kupu-kupuku, lihatlah apa yang ayah bawa” ucap pria bersandal tipis. “Horreeeeee....” sambut riang gadis kecil memeriahkan senja.

Sebuah kue berbentuk setangkai bunga dan kupu-kupu penuh warna membawa ketiga penghuni gubug pada satu senyum yang sama. Pada sorot mata bertabur cahaya yang sama. Pada sentuhan kata mengikat rasa yang sama.

“Aku kupu-kupu, Ibu bunganya dan Ayah.........................................................”
Suara dengung sayap nyamuk menyela kata sang gadis kecil.

“Kita dapat menciptakan rumah tanpa membangun sebuah rumah.”
“Tak perlu uang untuk menciptakan banyak rumah, dan memiliki uang melimpah tak menjamin kita dapat menciptakan rumah.”
Pic : https://nalarhati.wordpress.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diambil dari : Suar Aksara - Sudah Saatnya (Bandung)

Puisi : Kamus Kecil - Joko Pinurbo

51 yang (Ber)lalu