Cinta Lukisan Senja

Sore itu, iya itu sore. Atau mungkin masih siang aku lupa. Hanya karena sedari pagi aku di tempat ini, tak lagi ku hiraukan waktu. Oke, aku ingat, itu di sebuah siang. Sebuah siang yang terik. Kuingat dari banyaknya cahaya yang menerobos kaca bening di samping tempat dudukku. Ku ingat pula saat mataku bermain dengan tarian bayang-bayang dedaunan di luar jendela. 

Beberapa buku menemaniku duduk terhipnotis oleh sepatah kata, "menunggu". Menunggu waktu, menunggu semesta, menunggu mentari, menunggu senyummu. Entah apalagi yang harus ku tunggu, karena hidup sepertinya lebih suka mempersilahkan kita untuk menunggu. Terlalu banyak waktu dihabiskan untuk "menunggu". Sampai-sampai tak ada yang bertanya apa itu arti "menunggu". 

Semua merasa kenal dan dekat dengan "menunggu". Menunggu malam, ketika malam datang maka berganti menunggu pagi. Menunggu lapar, ketika lapar maka makan sembari menunggu kenyang. Menunggumu, setelah kau datang, haruskah aku menunggumu pergi. Walau kau tahu, menunggumu pergi sama artinya dengan menolak mentari bersinar esok pagi.

Angin terus mengganggu jendela kaca untuk mengijinkannya lewat menyapaku. Hanya sepercik angin yang berhembus membelai dahiku yang mulai berkerut. Detak jantungku tak mau bersabar menunggumu. Semakin cepat dia berdetak. Seakan aliran darah ini harus lebih cepat, lebih cepat dari perjumpaan kita.

Bola mataku semakin sering lalu lalang tak pasti, menuju sebuah pintu jauh disana dan buku kecil kisah seseorang yang mencari Tuhan. Kini keramaian di sekitarku tampak seperti taman bunga penuh warna, dengan kumbang dan kupu-kupu terbang mengitarinya. Dan aku menjadi seorang yang duduk di bangku taman di tepi jalan.

Aku terasing, aku berbeda, dan aku tak ingat lagi setiap detik yang berlalu. Hingga tanganmu melambai dari balik kaca yang memisahkan dunia kita. Kita tak benar-benar bersama dalam satu dunia. Aku harus menuju duniamu untuk menyapamu, dan kau harus melangkah keduniaku untuk sekedar tersenyum padaku.

Maka pertemuan kita adalah menyatunya dua dunia. Dunia keabadian dan dunia yang hanya sementara. Langit sang simbol keabadian dan bumi simbol kesementaraan menjadi prasasti cinta yang terbentang luas menyelimuti bumi. Biarlah semesta menjadi simbol bersatunya kita pada pagi dan hangatnya udara, juga pada malam dan dinginnya angin.

Tak usah kita menjadi mentari dan bulan di siang yang sama, ataupun bulan dan mentari di malam yang sama. Biarlah cinta ini mengitari bumi yang tak abadi ini, dari ketinggian sang langit yang abadi. Seperti telah tertulis dalam kisah tentang bumi yang sementara, perjumpaan kita pun kini t'lah berakhir. Aku kembali pada duniaku, kau pun berjalan seorang diri menuju duniamu.

Kini ku tahu, indahnya semesta adalah lukisan Maha Pencipta, untuk senandungkan sempurnanya cinta di bawah langit di atas bumi. Cinta yang tak terlihat dengan mata, cinta yang menyusup di rongga-rongga hati yang tengah menanti. Cinta yang hidup karena rindu abadi. Cinta yang terurai bersama hawa sejuk dari pepohonan berdaun kedamaian. Cinta yang tak berhenti menapaki lembah dan bukit, dan cinta yang melayang di atas hamparan samudra biru.

Hai, kini hari t'lah berganti. Malam baru t'lah datang. Namun wajah dan senyummu masih mengisi selaput mataku. Membuatku takut terpejam, karna hanya wajah dan senyummu yang kan hadir. Nada suaramu masih berdengung di ruang rinduku yang terdalam. Meredam semua kebisingan duniaku yang sebenarnya hampa.


"Cinta indah karena misterinya, cinta indah karena kehormatannya, cinta indah karena kebebasan melukiskannya."



Pict : http://baltyra.com/2013/06/05/lakon-pohon/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diambil dari : Suar Aksara - Sudah Saatnya (Bandung)

Puisi : Kamus Kecil - Joko Pinurbo

51 yang (Ber)lalu