Derap Masa

Tawa itu, amarah itu, kekecewaan itu, kebersamaan itu, keceriaan itu, semua menguap di tengah malam yang bisu. Sepasang mata masih terbuka dengan kepala yang mencoba menerawang masuk menjejakkan kaki di jalan yang t’lah dilewati sebelumnya. Jalan penuh rasa, jalan berkerikil suka berselang duka. Sebuah cerita tentang manusia yang bercerita tentang masa-masa terindah dalam hidupnya. Masa yang belum berganti, namun semua berada di ujung bibir dan segera terucap menjadi kata yang berlalu begitu saja.

Setiap manusia memiliki masa dimana hidupnya terasa begitu bersemangat, begitu hidup walau kesusahan tak putusnya datang. Walau tak selamanya langit biru cerah, walau tak selalu hujan turun segarkan bumi. Juga dengan masa dimana keceriaan bukan ukuran kebahagiaan, tawa bukan simbol hati nan bersuka. Hidup begitu rumit dengan tawa dan tangis palsunya. Tak ada rencana untuk sebuah kebahagiaan, tak ada penyesalan untuk kebahagiaan. Tak ada yang mengundang duka, namun tak berdaya mengusir jika ia datang.

Setiap hari manusia belajar memahami kehidupan. Semakin belajar justru manusia semakin bodoh. Karena sampai detik ini tak ada yang bisa menyesali kebahagiaan, dan tak ada yang bisa merencanakan kebahagiaan untuk hari esok. Manusia terlalu takut bertemu kenyataan dalam pikirannya sendiri. Terlalu takut bertemu apa yang dibayangkannya sendiri. Terlalu takut pada apa yang tak mereka yakini. Terlalu takut pada angan yang mereka ciptakan sendiri, dan terlalu takut melihat ketakutan akan khayalan.

Di masa ini manusia benar-benar berada dititik terbodohnya. Titik yang semua orang lalui setiap harinya. Titik yang memenjarakan raga mereka. Titik yang membunuh khayalan akan kebahagiaan yang abadi. Titik yang menghentikan keyakinan akan kebahagiaan. Di masa ini mereka tak berfikir bahwa mereka hidup. Di titik ini mereka lupa pada jati diri mereka. Di titik ini mereka lupa mereka bebas memilih, suka atau duka.

Di sisi lain, manusia mensyukuri dan menerima apapun dengan lapang dada, atau mungkin tanpa ada harapan. Saat seorang manusia puas dengan segalanya. Saat merasa hidup ini indah, karena sekarang aku hidup. Indah karena sekarang aku punya tempat untuk pulang dan menangis. Indah karena ada yang siap tertawa bersama bahagianya. Hidup begitu rumit dengan suka dan duka palsunya.

Tak ada duka abadi, tak ada suka abadi di dunia. Mengapa kamu menghindari duka? Mengapa kamu mencari suka? Jika harus bertemupun, suka duka pasti bersautan berganti muka. Sia-sialah matahari terbit dan tenggelam setiap harinya, jika hanya suka yang kau tunggu. Karena duka pun berharap bertemu sejenak denganmu. Sapalah duka sebagai sebuah malam yang mencintai matahari walau ia tak melihatnya. Karena dalam gelap pun, ada cahaya yang memberi mereka arti.

Gelap bukan saat dimana tak ada cahaya, kegelapan adalah saat dimana kau tak melihat cahaya. Tapi yakinlah cahaya itu tetap ada. Begitupun terang, ia bukan saat dimana tak ada gelap. Terang adalah saat dimana kita memilih cahaya daripada bersembunyi dan menghindarinya. Tapi gelap itu tetap ada.

Cerita ini bukan cerita. Seperti bayangan, ia bukanlah kegelapan, ia hanyalah sisi lain dari terang yang menerkam semua benda di sekitarnya.

Derap masa, perlahan setiap masa akan berganti. Perlahan tapi pasti, waktu akan mengubur jalan yang dilaluinya. Perlahan cerita ini hanya akan menjadi selembar penanda bahwa sekarang akan menjadi kemarin, dan sekarang sebagai esok.



Pict : http://fractalenlightenment.com/33799/life/5-compelling-reasons-to-get-to-know-your-shadow

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diambil dari : Suar Aksara - Sudah Saatnya (Bandung)

Puisi : Kamus Kecil - Joko Pinurbo

51 yang (Ber)lalu