"Kita t'lah sampai di titik ini, ..."



"Kita t'lah sampai di titik ini, ..." kataku pada mulutku. Lihatlah, semua hal t'lah berubah. Tidak, mereka tidak benar-benar berubah. Hanya saja waktu menuntunku ke sudut lain dari ruang kehidupan ini. Hawa yang ku rasakan pun kini berbeda, tak sehangat kala ku duduk di ruang keluarga dan bercengkerama. Pintu yang terbuka mengajak angin membasuh wajahku yang masih terdiam menatap dedaunan melambai di halaman rumahku.

“Mengapa kau diam saja? Bukankah sekarang saatnya kita pergi?” Kataku pada bibirku. Ia tak mampu lagi berucap, seakan terik mentari membungkamnya. “Kita t’lah sampai di titik ini, ...” itu yang bibirku ucapkan padaku saat kakiku mulai bergerak perlahan. Betapa ruangan ini menahan kakiku erat, memaksa mataku berkeliling melirik setiap potret cerita yang terbingkai rapi di dindingnya.

“Apa yang kau lihat?” kata bibirku pada mataku. Sementara telingaku sibuk mencari sumber suara dari percakapan seru yang ia dengarkan sejak tadi.

“Apa yang kau pikirkan?” kata mataku padaku. Tak ku jawab pertanyaan yang seakan tak ku dengar itu.

“Kau t’lah sampai di titik ini, ...”

Tak perlu ada garis untuk menghubungkan setiap titik yang menempel di langit malam. Karenanya malam begitu ramai dengan titik-titik yang sendirian di tengah keramaian gemerlap cahaya. Malam tak sunyi karena angin pun berlarian di bawah gemerlap cahaya langit. Begitu pula di luar sana, tak ada kesunyian kecuali kau mengundangnya. Membuat garis-garis yang menutupmu dari kemeriahan sekitarmu. Memberi garis batas pada perjalanan angin yang bebas menyapa siapapun.

Biarkanlah angin membawa daun-daun itu bertegur sapa denganku. Biarkanlah aku belajar dari pohon yang rela melepas daun-daunnya. Biarlah aku belajar dari daun yang rela di bawa angin walau ia masih ingin bersama tangkai-tangkai yang menggengamnya. Biarlah aku belajar dari angin yang rela di persalahkan karena daun tak lagi bersama sang pohon.

Lihatlah angin yang murung karena kedatangannya memaksa alam bersiap, bersiap untuk musim yang baru. Hujan jika angin sedang sendu dan malu, kemarau panjang jika angin ingin berpetualang.

“Bergegaslah nak, keretamu segera berangkat.” Ku tersadar saat ternyata ku telah sejauh ini. Sejauh ini, sejauh ini bertengkar dengan waktu yang tak mau mengingatkanku. Ku marah pada waktu yang tak mau berbicara padaku. Sementara angin terus mengajakku berbincang, dan terik terus memaksaku berjalan.

"Kita t'lah sampai di titik ini, ..." Ku buka mataku dan aku masih di titik ini. Hanya saja kini angin yang diam dan terik bersembunyi dari sorot mataku. Terlihat awan mulai mengumpulkan kawannya untuk memukulku dan menahanku berdiri di sana.

Hujan mulai turun, air dan tanah mulai menguburkan daun bersama pengorbanannya. “Mengapa kau diam saja?” telingaku kembali menangkap suara itu. Aku tahu aku tak perlu membawa daun-daun itu masuk dan duduk diam bersamaku dalam ruang ini. Biarlah mereka terkubur dan kembali merelakan dirinya.

Pagi yang baru t’lah tiba dan tangkai-tangkai disana tak lagi kesepian, daun-daun kecil mulai berani menatap mentari yang tak pernah datang terlambat.

“Apakah kau sudah siap?” Tanyaku pada diriku yang masih menatap potret cerita di sebelah jendela.

“Aku sudah siap, bukankah angin tak pernah membuat jalan namun ia mampu berjalan. Bukankah air tak punya mata, namun mereka selalu menemukan jalan. Dan bukankah mentari tetap bersinar walau tanah dan pohon terkadang lebih memilih hujan?” kataku pada diriku, sementara kaki mulai melangkah, telingaku mulai mendengar suara yang berbeda dan mataku mulai memandang cerita baru yang segera ku rekam.

Saat musim baru datang nanti, pohon t’lah berbuah, tanah tak lagi kering, dan angin lebih tenang menghampiri.



 Pic : https://tiredmama.wordpress.com/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diambil dari : Suar Aksara - Sudah Saatnya (Bandung)

Puisi : Kamus Kecil - Joko Pinurbo

51 yang (Ber)lalu