Dialog atau Monolog

13/03/2015

Tak yakin ini pagi hari, saat mata terbuka binatang malam masih bersuara. Tak mau menebak apapun, mata ku pejamkan lagi. Mencoba menyambung mimpi yang terhenti terhalang sunyi. Kau masih berdiri disana saat ku kembali. Kau menatapku seakan aku orang asing yang tersesat dalam pandanganmu.

Tatapanmu menelanjangiku ditempatku berdiri. Bibirmu tak berucap apapun, tetapi matamu mengatakan seribu bahasa yang tak pernah ku dengar sebelumnya. Maaf bila ku salah menebak, ku kira kau berdialog dengan dirimu tentang siapa aku. Aku yang datang kedua kali tanpa menyapamu.

Detik seakan terlalu cepat, kini matahari berdiri diatas kita berdua. Kau masih diam, tanpa ampun menjeratku dengan tatapanmu. Bibirku beku, tak satupun kata berani melompat dari kebekuan ini. Apalagi beranjak, bergeser barang 1 cm pun kakiku tak berani.

Kini ku sadar, tak hanya tatapanmu yang menjeratku. Ketakutanku menikamku, tak mengijinkanku memandang kesisi terang dibalik pohon layu itu. Kicauan burung riang hanya melintas cepat diatas kepalaku. Sekejap semua berganti kesunyian dalam gelap yang menyergap.

Mata kita masih terikat, kau seperti burung hantu yang menatap mangsanya ditengah gelapnya malam. Namun aku, seperti mangsa bodoh yang tak mau pergi walau cengkramanmu mungkin bisa membunuhku. Aku telah mati, hanya jantungku yang hidup dengan darah yang mengalir deras keseluruh tubuhku.

Tak ada naskah untuk cerita ini, dan ini membuatku bertanya tentang peranku. Peran apa yang seharusnya kumainkan. Lalu, siapakah kamu? yang hanya menatapku dalam dua episode mimpiku. Siapa pula aku? Pemilik mimpi atau seorang asing yang tersesat dalam mimpiku sendiri. Mengapa hanya kita berdua yang memainkan peran, kemana yang lain? Masih adakah peran lain untuk dimainkan?

Malam jatuh, pagi mulai berdiri perlahan. Kita masih berperan sebagai manusia bisu yang berdiri beradu pandang ditepi hutan. Detak jantungku mulai berbeda, entah dengan detak jantungmu. Jika kau tak punya jantung pun aku tak tahu. Diammu menutup segalanya, hanya mata itu yang terlihat jelas.

Nafasmu pun aku tak yakin itu ada, atau aku yang terlalu sering menebak. Bahkan aku lupa jika harus bernafas. Bernafas dengan udara bersih yang terlalu sedikit tersisa. Jika memang kau bernafas, kita harus membuat kesepakatan berbagi oksigen disini. Percuma dengan ide konyol itu, faktanya aku tak melihat kau masih bernafas.

Kepalaku terlalu ramai dengan pertanyaan yang saling berebut tempat. Dari sudut kepalaku terdengar ; “tidakkah suara mesin-mesin itu mampu membuat jeda untuk mimpi keduaku ini?”. Asap hitam pekat membumbung tinggi, aku tahu tanpa perlu melihat. Karena suara gaduh itu ku kenal baik. Suara itu yang menghasilkan asap hitam yang membunuh burung-burung kecil dihutan ini.

Kini kesunyian berganti kegaduhan, tapi arah tatapanmu tak juga berganti. Apa karena pakaian yang ku kenakan ini kau memandangku seperti ini? Aku tak yakin kau menganali pakaian ini. Tapi aku yakin mengenal pakaian yang kau kenakan kini.

Langit jingga tampak mengintip dari pepohonan dibelakangmu. Warna matamu masih sama, aku tak yakin tapi aku tahu mataku pasti memerah. Tak ada perih yag kurasakan, hanya debu yang terbang bersama angin senja menyampaikan itu.

Teringat saat ku belum mengenal dunia, kedua orang tuaku mulai memperkenalkan bahasa yang sebenarnya tak ingin ku pelajari. Kini terbukti, bahasa itu tak membantuku untuk berdialog denganmu. Tak membuatku mengerti maksud dari tatapan itu.

Alunan musik keroncong terdengar pelan, aku tahu itu pasti dari radio tua kakekku diruang keluarga rumahku. Malam sedikit berwarna dengan lagu-lagu cinta tahun 80’an itu. Sekarang aku benar-benar lupa, berapa hari kita tak saling bicara. Tak mungkin setua umur lagu-lagu itu.

Dingin malam tak membiarkan tatapanmu membakarku. Mereka mulai menyusup mengusap kulit tangan dan leherku. Dedaunan menari bergesekan, justru membuat bulu kudukku berdiri. Karena malam ini tak ada angin yang tersesat dihutan ini.

Entah kapan dialog atau monolog ini berhenti. Mungkin penonton dibangku VIP yang tahu makna cerita ini. Karena dibarisan belakang kegaduhan tak berhenti sejak drama ini dimulai. Mungkin mereka menanyakan peran lain yang tak pernah dimainkan dalam drama ini. Atau merekalah pemeran utama drama ini.

Jendela kamarku terbuka oleh hasutan angin pagi ini. Buku-buku yang berserakan dilantai kamarku kini tampak dipeluk cahaya, bak penyanyi kelas dunia diatas panggung mahal ditengah kota ini. Kemana engkau pergi? Salam perpisahanpun tak terdengar barang sedetik dua detik.


Kisah ini berakhir tanpa dialog. Mungkin karena ini pertunjukan monolog. Monolog yang berdialog.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diambil dari : Suar Aksara - Sudah Saatnya (Bandung)

Puisi : Kamus Kecil - Joko Pinurbo

51 yang (Ber)lalu