Perubahan Membawa Perbedaan (Teladan Seorang Guru)

05/03/2015

Sebuah bangunan sekolah mungil diujung bukit tampak siluet kala mentari merangkak naik. Terdengar celoteh dan nyanyian anak-anak yang memimpikan hari yang indah tadi malam. Pepohonan yang mulai jarang dan tersisihkan pun turut menyambut mereka. Tak ada sebongkah awanpun tampak menganggu langit pagi itu.

Senyum guru tercinta memikat mereka untuk berlari kencang untuk sekedar berjabat tangan dengannya. Seorang bapak Guru yang penuh kesederhanaan dan dekat dengan semua muridnya. Dekat dengan muridnya bukan berarti mengiyakan semua hal yang dilakukan muridnya baik yaang baik maupun yang buruk.

Ia tetap tegas menegur hal buruk yang dilakukan muridnya dan konsisten memberikan teladan baik bagi muridnya. Itu terlihat dari cara muridnya berjabat tangan, melempar senyuman, dan sapa murah yang mereka berikan. Termasuk cara mereka bertanya ketika pelajaran yang diterimanya mengundang tanya.

Tampak pula dari cara mereka mencatat setiap hal penting yang harus mereka pelajari lebih tekun lagi dirumah. Buku catatan yang rapi, teratur dan bersih. Tanpa ada yang menyangka bahwa mereka anak-anak yang beruntung, beruntung sekali karena begitu dekat dengan alam dan jauh sekali dari polusi, segala macam polusi.

Keceriaan anak-anak itu mengundang banyak keingin tahuan dari warga desa sekitar, juga orang kota yang juga medengar cerita bapak Guru sederhana yang mengajar dengan hati. “Hal istimewa apa yang dilakukan bapak Guru itu sehingga sekolah mungil diatas bukit menjadi sekolah idaman semua murid?” pikir Danang (seorang kepala Dinas Pendidikan di daerah itu).

Danang yang terlalu lama di kota (kota yang tak terlalu besar) mungkin jarang atau bahkan tak pernah melihat hal demikian. Mungkin yang dia dengar dari guru-guru di kota adalah keluh, cerita keputus asaan atau bahkan ungkapan acuh tentang murid-murid.

Banyak guru terlalu sering mengeluh begitu “nakal”nya murid mereka. Beberapa guru bercerita betapa sulitnya mengajari hal baik pada murid mereka. Sebagian lagi bahkan mangatakan tak peduli pada murid mereka, yang penting mengajar (muridnya paham atau tidak, tak peduli) dan mendapat gaji untuk hidup anak dan istri dirumah.

Entah bagaimana selama ini telinga pak Danang mampu menampung cerita-cerita itu. Mungkin hatinya juga mulai membatu dengan segala keluh kesah itu. Hingga akhirnya tetesan air terus-menerus mengikis lagi hatinya.

Sebuah kisah yang di ceritakan polos tanpa rekayasa didengarnya dari banyak orang, tentang pak Darto. Darto adalah nama bapak Guru dari sekolah mungil diujung bukit. Cerita-cerita itu akhirnya mengajaknya berangkat menemui pak Darto. Pagi-pagi buta, mobil hitam miliknya tiba disudut desa diatas bukit itu.

Udara pagi yang suci menyambut hidungnya yang begitu kotor karena terlalu sering mencium kebusukan hati “orang-orang kota”. Matanya bergerak acak mencari sekolah mungil itu. Telinganya mendengar sayup nyanyian anak-anak desa. Kakinya melangkah mencari sang empunya suara.

Pemandangan indah persis seperti di awal cerita ini kini dia saksikan. Tanpa bersyukur atas yang dia lihat, pak Danang berjalan cepat menuju pak Darto yang tengah sibuk menyapa satu-persatu muridnya. Terjadi percakapan yang menarik setelah keduanya saling sapa dan berkenalan.

Dengan rendah hati pak Darto bercerita apa yang ditanyakan dan ingin diketahui pak Danang. “Pada dasarnya, tidak ada anak yang “nakal”. Mereka hanya belum mengenal mana baik dan mana buruk.” Pak Darto berkata. Pak Danang mengangguk pelan.

“Anak-anak itu seperti spon, mereka menyerap apapun disekitar mereka. Baik itu air keruh (hal buruk) ataupun air jernih (hal baik). Tugas kita adalah menyediakan air jernih (hal baik) disekitar mereka, agar kejernihan (kebaikan) pula yang mereka serap.” Pak Darto menambahkan.

Pak Danang masih penasaran mengapa murid-murid itu begitu mencintai pak Darto. “Apa yang keluar atau diberikan dari hati, akan diterima dan sampai ke hati. Siapapun (tak hanya guru) sudah seyogyanya mengasihi anak-anak dan mengajari mereka tentang baik dan buruk dengan hati mereka. Dengan dasar bahwa kita mengasihi mereka (bukan karena imbalan atau yang lainnya).”

“Ketika kita telah memiliki hati mereka, maka semua hal yang kita ajarkan pada mereka akan mudah mereka hidupi. Teladan adalah hal yang paling mudah di ikuti mereka, walaupun kadang sulit kita lakukan. Anak-anak meng-copy semua hal yang mereka lihat. Dengan teladan yang baik, mereka akan menghargai dan melakukan teladan yang baik pula.”

Kita sering ingin mengubah orang lain, tapi kita lupa bahwa kita sendiri belum berubah. Hasil takkan berubah atau berbeda ketika caranya belum diubah. “Berubahlah menjadi lebih baik, maka duniamu pun berubah baik.” Sebab Tuhan Yang Maha Baik mencintai hal baik dan selalu memberikan kebaikan-Nya pada kita.

Percayalah!


Pict : http://www.andriewongso.com/articles/details/12634/Berubah-Untuk-Perbaikan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diambil dari : Suar Aksara - Sudah Saatnya (Bandung)

Puisi : Kamus Kecil - Joko Pinurbo

51 yang (Ber)lalu