3 Detik Menatap Arah Jam 6

24/3/2015

Tanpa kurasakan terik, ku berjalan menuju keramaian. Keramaian yang sangat asing bagiku. Lama sudah ku tak memasuki pintu ini, dan menyaksikan kesibukan orang-orang lain. Walau aku juga tak yakin mereka benar-benar sibuk. Hanya wajah-wajah cemas dan senyum yang berat yang tergambar pada wajah setiap orang disini.

Kulihat seorang teman berdiri berlindung didepan bangunan bertingkat. Berjalan perlahan ku kearahnya, basa-basi kecil bersautan dimulut kami. Tak lama saling bicara, ku buang pandanganku ke sisi lain disekitar keramaian. 

Sampai saat dimana mataku terhenti disebuah titik koordinat. Biasa kita sebut arah jam 9. Sebuah magnet tersipu malu pada koordinat tadi. 

Mataku menolak memandang, tapi hati ini tak kuasa menahan hisapan magnetik yang ada. Daya tarik magnetik yang tak terukur dan tak kasat mata.

Kakiku kubawa menjauh dari tempatnya terbenam sedari tadi. Aku pun duduk dititik koordinat lain. Pemilik arah jam 9 pun berubah koordinat. Dia bergeser tak jauh dari tempat ku benamkan kakiku beberapa saat lalu.

Daya magnetik itu kembali menarik kepalaku berputar 180 derajat. Tepat arah jam 6 kini dia berada dari posisiku. Dia berdiri membiarkan diamku menggeliatkan resah. Senyumnya yang terlepas ke angkasa, memaksaku merasakan lembutnya belaian semesta.

Matanya yang bertemu dengan tatapanku, menepis terik yang membakar atap dan tembok bangunan disekitarku. Kicau burung mendadak berlomba untuk memiliki perhatian telingaku.

Suara ombak dan gemercik air muncul dalam anganku. Sejenak ku terbangun dan bertanya, "dimana aku?" ia membawaku terlalu jauh kesisi lain semesta yang kaku. Menyatukan panas dan dingin dalam nama kehangatan sebuah senyum dan tatapan.

Seketika alarm jam tanganku berbunyi, aku harus pergi. Pergi dari kebebasan angan dan khayalan. Meninggalkan sunset indah ditepi pantai pasir putih yang menawan. Pergi dari sapaan laut yang membawa pesan mendalam tentang sebuah rasa. Rasa yang tersembunyi jauh menghuni dasar hati.

Kenyataan tak pernah mengijinkan khayalan hidup didalamnya, kenyataan selalu tak punya kebebasan. Kenyataan selalu mengikat kebebasan ditempat sunyi dan terpisah. 

Jika cinta itu nyata, mengapa khayalan tak bisa hidup dalam kenyataan. Jika cinta adalah kebebasan, mengapa rindu dibatasi waktu dan masa. Jika cinta memang bebas, mengapa semesta tak membiarkanku menatapmu 3 detik lebih lama.

"Cinta adalah kebebasan, kebebasan yang hidup dalam rasa yang tak terikat."


Pict : http://www.anneahira.com/managemen-waktu.htm

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diambil dari : Suar Aksara - Sudah Saatnya (Bandung)

Puisi : Kamus Kecil - Joko Pinurbo

51 yang (Ber)lalu