Dipandang Memandang Dunia
01/03/2015
Aku pernah mencoba berlari dari
hidupku. Saat merasa semua menatapku berbeda. Saat semua memandangku begitu tak
berguna. Tetapi cermin itu menamparku, memalingkan wajahku pada cara berpikir
yang lain. Bahwa bukan dunia yang menatapku berbeda, bahwa bukan dunia yang
memvonisku tak berguna.
Hey
please.... akulah yang memandang dunia dengan berbeda, dan akulah yang
menvonis aku tak berguna didunia. Sejauh mataku memandang, jika terang maka
jelas terlihat. Namun malam gelap sembunyikan keelokkan bukit yang berbaris
selaras dengan gerak tarian sayap angsa.
Ketika aku mulai salah memandang
dunia, justru aku yang sering berteriak mengutuk dunia. Karena sejatinya dunia
malu dan tak kuasa untuk mengutuk. Ketakutan pada banyak hal membuatku berlari
dari semua hal. Tak jarang akan merasa berhasil berlari dan bersembunyi. Lupa
bahwa dunia punya begitu banyak mata untuk melihat tingkahku dalam
persembunyian.
Ketakutanku akan ukuran bahagia
dan berhasil yang dipakai dunia adalah hasil perlawananku yang belum selesai.
Sebuah perjalanan berliku mencari kekuatan yang tak benar-benar tersembunyi. Hari demi hari berlalu melewatkan ketakutan
begitu saja. Tanpa tertangkap inderaku, ketakutan membuntutiku dan bersiap
menikam dari belakang.
Sewaktu-waktu mata pisau
ketakutan bisa saja menikamku. Tapi rompi baja yang kupakai menenangkanku untuk
beberapa langkah kedepan. Rompi baja yang menahan gerakku, pelan-pelan dan
akhirnya harus duduk karena lelah kedua kakiku menopangnya. Perjalananku masih
jauh, namun kedai semangat ditepi jalan sempat menawarkan semangat yang tercium
aromanya namun hambar rasanya.
Pernah aku bertanya pada jalanan
ramai ditengah kota yang sibuk “orang
seperti apa yang ingin kau lihat melewatimu dimalam hari?” tak tampak mata
yang menengok keatas mencari jawaban. “Orang
yang berjalan telanjang kaki dan membawa payung yang terbuka.” Secara otomatis
pikiranku mulai menebak maksud dari jawaban itu.
Berjalan telanjang kaki mungkin
berarti orang yang berjalan tanpa takut pada apa yang akan menghadangnya
didepan, bahkan ketika kerikil tajam memaksanya berhenti dia tak menyerah. Payung
yang terbuka dimalam hari mungkin mengatakan bahwa untuk berjalan dalam ruang kesunyian, harus tetap teduh hati.
Sekalipun malam gelap sembunyikan apapun didepanmu, setidaknya ketika hujan
tetiba jatuh payung itu menjagamu.
Terlalu lama ku menunggu
pembenaran atas tebakkanku, jalanan kembali ramai dengan debu yang berterbangan.
Kabut tipis t’lah lenyap terbawa lambaian pohon kecil yang baru tumbuh dikanan
dan kiri jalan. Tak pernah ada jawab pembenaran pada tebakkanku.
Aku berjalan tanpa alas kaki dan
kubuka payung biru tua ditas merahku
yang mulai memudar warnanya. Tak ada tatap mata seperti keinginanku untuk
mendapatkannya. Selain tawa bodoh tikus-tikus kota yang dekil jarang mandi.
Beribu langkah t’lah terlewati,
kaki ini belum juga lelah beradu dengan kerikil tajam yang terjebak aspal
jalanan. Hingga kakiku tertanam dihadapan gerobak tua yang tersisihkan diujung
jembatan tua. “Teruslah berjalan nak,
jalanan ramai nan sibuk ini bukan hakim kita.” Kalimat ini keluar dari bibir
kering seorang wanita pemilik gerobak tua.
“Aku sering dihakimi karena akupun menghakimi. Berhentilah menghakimi
dan jadilah jalan bagi setiap langkah ragu yang mencari kepastian.” Tambahnya.
Langkahku sendiri, langkah yang harus berhenti diujung jalan kepastian. Kepastian
tentang apa yang ku bayangkan tentang kebahagiaan. Bukan kebahagiaan dunia,
namun kebahagiaan raut wajah yang terlihat lelah dihakimi.
Komentar
Posting Komentar