Cinta Seranum Senja

27/03/2015

Aku tak yakin itu hari apa, tapi ku ingat saat pertama kulihat senyum itu. Ketika itu langit sedikit murung, dia marah karena awalnya tak ada simpul senyum diwajah itu. Bumi yang terlalu ramai, menutup teriak hati yang lelah. Keramaiannya sembunyikan sepi di tepi rasa. Hanya senja yang melihatnya malu. Mataku pun tak melihat sunyi dan teriak marah dibalik wajah itu.

Mungkin ini yang dimaksud banyak orang, jangan melihat buku dari sampulnya. Tapi pemilik wajah itu lebih dari sebuah buku. Memang ketika itu ku tak yakin, sampulmu adalah identitasmu. Tapi aku yakin ada yang berbeda pada halaman demi halaman yang kelak terbuka dan terbaca.

Duduk ku bersandar pada bumi, mencoba merasakan melodi semesta. Mataku dan wajahmu tak terpisah oleh sekedar teriak atau riuh dan tawa sekitar kita. Sebuah lagu bergema dihatiku, lagu yang menenggelamkan kenyataanku. Damai dan merdu suaranya, irama semesta berpadu nyanyian dari senyummu. Musik terindah yang pernah mengetuk hati dan jiwaku.

Sesalku, melihat wajah itu kala hari t’lah lelah. Ku bawa sisa-sisa nada yang tertinggal di beranda ingatanku. Gelap datang terlalu awal, mengingatkanku pada batas kehidupan. Pada hitam dan putih. Begitu banyak langkah kaki beranjak pergi, namun kulihat jejak-jejakmu yang penuh warna. Kuselami setiap warna yang membawaku semakin dalam mengikutimu.

Hari baru datang begitu cepat, namun wajah itu tak pernah mencariku. Hanya aku yang berlari walau tahu t’lah kehilangan arah. Hari baru, entah kemana wajah itu. Hari lain, tak juga ada. Hari baru, tetap datang tanpa jejak warnamu. Sebagaimana manusia menunggu pagi, tak selamanya ia dapatkan pagi yang cerah dan putih. Bagaikan mawar, ia tak hanya merah ataupun putih sepertimu.

Lautan manusia kembali mempertemukan tatapku dan wajah itu. Ku tahu mataku kan temukan warnamu. Kau datang dengan topengmu, kau sembunyikan simpul pipimu. Tak lagi dapat kulihat senyum itu. Arus keramaian menuntunku mengikuti langkahmu. Kini mata kita yang bertemu, kuhilang kau mencari, kau hilang ku mencari. Begitu pola yang terbentuk dari pertemuan kedua ini.

Caraku memandangmu tak lagi sama. Tak hanya rasa ingin tahu yang menyudutkanku. Cinta pandangan pertama mungkin baru saja singgah dalam bait kehidupanku. Pencarianku bukan lagi pada siapa pemilik senyum itu. Aku mencari, siapakah yang mengajak semesta tersenyum untukku. Tak satupun tinta layak melukiskan indahnya senyum semesta pada wajahmu.

Sebuah rasa t’lah membunuhku. Menghentikanku dari permainan kata-kata. Rasa yang mengajakku melayang dalam rona mata yang bahkan tak ku kenal. Andai lidahku boleh berucap, mungkin hanya puisi yang layak terdengar telingamu. Kalaupun hujan tak pernah ada, mungkin hanya pelangi yang layak kau pandang. Jika dunia tak memiliki malam, mungkin hanya birunya langit yang layak kau nikmati.

Jika pagi bukan lagi dambaan semua orang, biarlah senja datang mengiringmu pada sayapku. Jika terang tak pernah abadi, ijinkan aku merawat senyummu saat senja tiba. Dunia memang berbatas waktu, namun tak membatasi rinduku pada setiap detik senyummu. Senyummu, menghentikan senja. Wajah itu, putih dan pemalu.

“Cinta bukan hanya keindahan. Bagi yang rela mencintai tanpa berharap dicintai, cinta adalah kebebasan yang sempurna. Cinta adalah kesempurnaan rasa dan warna. Cinta itu sepertimu, seranum senja.”



Pict : http://www.agipsaudagarpanci.com/2014/05/senja-ranum.html

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diambil dari : Suar Aksara - Sudah Saatnya (Bandung)

51 yang (Ber)lalu

Puisi : Kamus Kecil - Joko Pinurbo