Cerpen : Yang Kembali dan Abadi


Malam mulai ditenun saat senja merangkak menuju kesudahannya. Gelap tiba dengan anggun. Menaklukan riuh sesak hari yang singkat. Bintang-gemintang mulai percaya diri dengan kilau-kilaunya. Permainan lampu semesta disuguhkan dengan begitu sempurna. Bulan yang t’lah ijin pada malam sebelumnya, kini tak terlihat sama sekali. Mungkin bersembunyi di balik samudra hampa. Atau membenamkan diri pada gurun pasir kesunyian. Bangku-bangku taman gelap gulita, tak seorang pun duduk di sana. Tepi pantai pun sunyi, ombak juga tak datang malam ini. Mereka sibuk mencari buih-buih yang juga menghilang sejak fajar muncul pagi tadi. Hanya sepasang kaki berjalan lesu. Menyusuri bentangan pantai yang rindu pada ombak.
“Kini jejak-jejak langkah ini tak akan hilang” katanya. “Setidaknya sampai bulan kembali dan ombak tak mampu menahan rindu pada pasir-pasir pantai.” sambungnya.
Dari kejauhan tampak perahu nelayan kecil dengan satu lampu penerang kecil. Tampak tenang di atas laut yang tenang tampa ombak. Siluet terlihat seorang nelayan tengah duduk diam memandang langit. Mungkin mencari gerangan bulan yang tak juga hadir. Matanya bersinar senada kerlap-kerlip gemintang penghias langit. Langkah sepasang kaki itu terhenti. Pemiliknya termangu menanti perahu itu tersandar di pantai.
“Apa yang kau lihat?” tanyanya pada nelayan.
“Mereka yang selalu terlihat ramai dalam sunyinya dunia.”
“Bintang-bintang itu?
“Tentu saja. Mengapa kau di sini? selarut ini?”
“Ibu sangat merindukanmu, bisakah Ayah pulang? Ia terus menanyakanmu setiap kali langit malam cerah dengan ribuan bintang berkedip di sana.”
“Aku akan pulang, jika jaring-jaringku menangkap bulan dan buih riak-riak ombak.”
“Kami menantikanmu.”
“Sampaikan salamku untuk ia yang ku percaya tak berhenti mengirimkan doanya pada Sang Pencipta, dan oleh karenanya aku tak pernah takut pada kesunyian. Karena aku tahu, ia menungguku. Menungguku pulang, menjemput bintangku yang tak pernah padam.”
__________________*__________________
Sementara itu di rumah sederhana di kaki lembah tepian desa, sepasang tangan yang halus bersatu padu menggenggam secangkir kopi hangat. Menggigil hebat di tengah hujan yang begitu lebat. Matanya meneteskan airmata kerinduan. Hujan yang datang sendiri, tanpa gemuruh dan petir justru membuat pilu semakin menghujam. Bibirnya terus berucap. Mensyairkan kalimat-kalimat yang terakhir ia dengar dari bibir jiwa yang dirindukannya. Ada ruang di jiwanya yang kini kosong. Bahkan petir dan gemuruh yang kala itu mengiringi perpisahan mereka pun tak hadir malam ini.
“Di lembah ini, bersemayam kesunyian yang lebih sunyi dari hambarnya hati seorang penyair.” Kalimat terakhir yang terucap sebelum mulutnya bergetar dan dadanya terisak dalam tangis.
Isak tangis itu sungguh menenggelamkan hujan dengan segala gemercik airnya. Dunia berhenti berputar. Angin seketika diam seribu bahasa. Dedaunan yang basah seketika kering berguguran, menyisakan ranting-ranting kurus kering bergelantungan. Aliran sungai surut dan ikan-ikan mati di tepiannya. Tanah yang gembur berubah retak membentuk pola-pola tak beraturan. Tak ada yang mampu menahan perihnya dua hati dalam satu cinta yang tak dapat bersatu.
Malam berlalu tanpa meninggalkan kekacauannya. Kala pagi datang orang-orang mulai ribut membicarakan keanehan tadi malam. Bagai sebuah wahyu dari langit, semua orang menceritakannya kepada siapapun yang ia temui. Dengan cepat berita malam yang aneh di kaki lembah itu tersebar ke kota bahkan seluruh negeri.
Tak jarang beberapa orang menyempatkan diri datang ke kaki lembah itu. Walaupun hanya menemukan sebuah rumah kosong tak berpenghuni. Namun setiap orang yang datang akan terheran-heran karenanya. Rumah yang sendiri itu begitu terawat. Pelatarannya bersih, tak ada satupun dahan yang berserakan di sana. Kebunnya rapi ditumbuhi sayur mayur hijau segar. Tak ada ngengat di dinding-dinding kayunya. Bunga-bunga di taman sekitar rumah itu pun menebarkan wewangian yang menghayutkan jiwa yang riuh pada kedamaian.
Dengan begitu cepat pula berita ini tersebar dan semakin banyak orang berdatangan di siang hari. Mereka tak berani datang malam hari karena di sana begitu gelap. Hanya bulan dan bintang-gemintang yang selama ini menerangi. Namun sudah puluhan tahun bulan dan bintang-gemintang tak pernah hadir. Malam menjadi begitu sunyi.
Menurut cerita para orang tua yang tinggal paling dekat dengan kaki lembah itu, semua keanehan itu terjadi karena ada sepasang kekasih yang melanggar janjinya. Sehingga semesta marah dan memisahkan mereka pada kesunyian mereka masing-masing. Sepasang kekasih itu bernama Pangeran Gunung dan Putri Laut.
Sang Putri Laut di kurung dalam sunyinya kaki lembah dengan hujan tanpa gemuruh dan petir di setiap malamnya. Sementara Pangeran Gunung terbuang dalam kesunyian samudra tanpa ombak dan bintang-gemintang di atasnya. Kesunyian yang sempurna untuk keduanya.
Hari sabtu di tengah ramainya pengunjung di kaki lembah itu, ada sebuah tulisan dalam gulungan kulit binatang yang di temukan seorang pengunjung. Tulisan itu berupa puisi yang indah, tergores begitu rapi. Membuat siapa saja yang membacanya merasa seakan-akan merdeka dari semua rasa sedih dan derita. Merasa mencintai adalah kewajiban utama mereka yang bernafas. Puisi yang merayu orang untuk kembali menilik ruang hatinya masing-masing, dan menemukan cinta yang menyala-nyala.

Yang Kembali dan Abadi

Pada naungan langitmu wahai semesta
Ku tebarkan senyuman yang tak bertepi
Ku bentangkan bahagia pelipur semua lara
Ku tanam benih-benih cinta di kedalaman samudra

Aku dan hatiku akan menari-nari di kaki lembahmu
Berlari-lari riang di pantai-pantaimu
Kan ku biarkan bunga-bunga tumbuh di awan-awanmu
Pelangi selalu datang kala siang ataupun malam

Lihatlah wahai semesta
Aku tak memiliki kesedihan lagi kini
Dunia kuciptakan dengan cinta dan kebahagiaan
Bersama gadis yang kau hembuskan dari surga dan keabadian

Dia yang kembali dan abadi
Dia yang diciptakan dari rusukku yang Kau ambil
Kau kembalikan dan ku abadikan
Berdampingan sebagai sayap-sayap kebahagiaan

Karena tak ada yang berani menyimpan gulungan berisi puisi itu, seseorang meninggalkannya di ambang pintu rumah yang sendiri di kaki lembah.
Keesokan harinya tak ada satupun orang yang berkunjung ke kaki lembah itu. Seakan ada bisikan ajaib dari langit, yang didengar dan disepakati setiap orang. Bahwa tak perlu lagi mereka kembali dan mencari apa yang ramai dibicarakan semua orang. Tetapi cukupkanlah dirimu dan hiduplah karena mencintai, bukan karena mencari dan berharap untuk dicintai.
Semenjak hari di temukan dan di bacanya puisi itu, semua kembali normal sebagaimana adanya. Bulan selalu datang kala malam. Hujan yang hadir kini turut serta pula gemuruh dan petir yang bersahut-sahutan. Ombak kembali datang melepas rindu terdalamnya kepada pantai. Sungai mengalir berjubah riak-riak kecilnya nan anggun.
Sebuah pelangi bersayap cahaya putih terang perlahan-lahan terbang menuju langit. Menarik semua pasang mata untuk lekat memandangnya. Hingga benar-benar hilang dan langit kembali biru lembut tanpa awan. Semua orang yang menyaksikannya percaya bahwa itu adalah sayap kebahagiaan yang kembali dan abadi.

*Pict : http://desktopgraphy.com/flying-seagulls-sea-sunset-rock-bird-shore-seagull-high-quality-picture/
*Tulisan ini merupakan penyempurnaan dari tulisan sebelumnya yang berjudul “Yang Kembali”, yang ditulis dan diterbitkan pada 13 Juli 2017 di seranumsenja.wordpress.com oleh penulis yang sama.
Matheus Wahyu Aribowo
Salatiga, 15 Juli 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diambil dari : Suar Aksara - Sudah Saatnya (Bandung)

Puisi : Kamus Kecil - Joko Pinurbo

51 yang (Ber)lalu