Cerpen : Tangis Rudi
"Ia hanya berjalan pergi tanpa mengatakan apapun. Di bawah jingganya langit kala itu, aku melompat dari lantai 11 sebuah apartemen di Kota Semarang."
Sore yang tenang menjadi begitu riuh seketika. Puluhan bahkan mungkin ratusan orang berkerumun menyaksikan seonggok mayat perempuan hancur di depan halaman apartemen. Tak ada yang berani melakukan sesuatu pada mayat itu, selain hanya menutupnya dengan kain seadanya. Terdengar bisik-bisik diantara kerumunan itu, orang-orang mulai menebak-nebak siapa dan apa alasan perempuan itu melompat dari atas apartemen.
Beberapa orang beranggapan perempuan itu melompat karena patah hati atau dikhianati kekasihnya. Ada juga yang berpendapat karena mabuk, pengaruh minuman keras. Ada juga yang menyangka didorong seseorang karena sebelumnya ada yang melihatnya cek-cok dengan seseorang di loby apartemen. Seakan prediksi mereka tak kunjung di klarifikasi oleh siapapun, meraka satu persatu mulai pergi dari sana. Bersamaan dengan datangnya ambulan dan tim dari kepolisian.
"Setelah itu aku lihat Rudi juga berada di antara kerumunan orang-orang itu. Ia mendekat, mungkin memastikan apakah benar itu aku. Ku lihat matanya berkaca-kaca, wajahnya memancarkan duka yang begitu dalam. Dan dengan segera ia meninggalkan mayatku."
-------------------II------------------
Sore yang sejuk di tengah hiruk pikuk ibukota. Burung-burung melintas hendak pulang dari perjalanan panjangnya hari ini. Matahari mulai merangkai kata-kata perpisahannya dari ujung langit. Seorang lelaki duduk menggantungkan kakinya di jendela sebuah rusun. Terlihat seperti tengah bercakap-cakap. Sambil sesekali memandang langit senja atau menengadah ke langit di atas kepalanya.
"Jadi bagaimana kau bisa sampai di tempat ini?"
"Aku hanya mengikuti keinginanku. Seumur hidupku aku belum pernah melihat Jakarta, sekarang aku baru bisa menikmatinya."
"Apanya yang kau nikmati? di sini semua orang mengeluh. Keluhkan pekerjaannya, keluarganya, hutang-hutangnya, kekasih gelapnya, bahkan hal-hal tak penting lainnya. Ketakutan-ketakutan yang sia-sia."
"Iya, sekarang aku tahu dan bangga dulu tak memilih pergi ke kota ini."
"Dengan cara apa kau menjadi seperti sekarang ini?"
---------------III--------------
Seorang perempuan dan seorang lelaki terlihat berjalan bersama sambil cek cok di loby sebuah apartemen. Turut meramaikan suasana pagi yang bersemangat kala itu. Langit cerah di luar sana dan udara segar bertiup perlahan. Sedikit drama itu berhenti segera setelah pintu lift tertutup. Dan semua kembali tenang.
"Aku tak bisa membiarkanmu terus seperti ini."
"Tetapi ini ku lakukan untukmu kak, kau satu-satunya yang ku miliki di dunia ini."
"Aku ingin melihatmu tumbuh menjadi pria dewasa yang baik dengan cara yang baik juga."
"Kita sudah tak memiliki apapun, hanya apartemen ini yang bahkan bulan depan sudah bukan milik kita lagi. Mau tinggal di mana kita nanti?"
Aku terduduk lemas di ujung sofa apartemen dan menangis. Menangisi hal-hal yang sungguh tak ku mengerti. Ibuku meninggal saat melahirkan adikku 17 tahun yang lalu. Dan ayahku ditangkap KPK bulan lalu di Jakarta sesaat setelah menerima uang tunai sebesar 500 juta rupiah. Ia ditangkap bersama seorang perempuan seusiaku di dalam kamar hotel mewah. Mendengar berita itu duniaku seketika gelap. Aku berhenti kuliah karena tak tahan dengan apa yang orang-orang tuduhkan pada ayahku. Rudi pun begitu. Di sekolah ia mendapat perlakuan-perlakuan yang tak menyenangkan. Hingga akhirnya ia tak lagi berangkat sekolah sepekan sebelum ujian kelulusannya.
"Mau kemana kau?" tanyaku pada Rudi sambil ku lihat jarum pendek di jam dinding yang berada di angka 4.
"Menyelamatkan kita dari kelaparan. Aku tak mau menjadi gelandangan di luar sana."
"Tetapi tak harus seperti itu Rud, kita cari cara lain."
"Ini demi kau, aku harus menjagamu. Karena hanya kau yang ku miliki saat ini. Bajingan di balik jeruji besi itu membuatku kehilangan segalanya."
"Apa yang harus ku lakukan agar kau tak seperti ini lagi?"
"Mati lah kau." jawabnya ketus dengan wajah merah penuh amarah.
"Rud, apa yang kau katakan? Tapi baiklah jika itu maumu."
-------------IV------------
Kehidupan sungguh penuh misteri. Tetapi bukan misteri ini yang ku mau. Semua misteri dalam hidupku berujung pada duka. Berujung penderitaan. Bahkan setelah aku bebas dari rasa sakit, haus dan lapar. Aku masih harus melihat Rudi, adikku terbunuh karena mencoba kabur dalam sebuah penggrebekan oleh polisi. Rudi hanya korban dari kerasnya dunia. Tak seharusnya ia menanggung ini semua. Ia mengedarkan narkoba hanya karena ingin bertahan hidup dan mengubah kehidupannya.
Kini tangisku benar-benar berada di puncaknya. Puluhan anak jalanan datang pada pemakanan Rudi. Mereka semua menangis, menaburkan bunga dan beberapa juga memeluk makam Rudi yang masih basah. Mereka adalah anak-anak jalanan yang telah terbebas dari narkoba dan telah bersekolah. Mereka tinggal di sebuah rumah sederhana bersama Rudi selama dua tahun ini. Mereka semua termasuk Rudi membuat kerajinan tangan dan menyablon beberapa kaos dengan kata-kata positif. Lalu mereka jual di pasar dan mereka titipkan kepada beberapa penjual pakaian di Tanah Abang. Mereka benar-benar telah berubah. Mereka juga bersih dari miras, narkoba bahkan juga rokok. Termasuk Rudi adikku, dari awal memang ia hanya menjual dan tak penah tertarik memakainya.
Rumah sederhana itu adalah rumah yang Rudi dapatkan dari seorang pengedar narkoba kelas kakap. Ia mendapatkan kepemilikan rumah itu dengan syarat, ia menjadi kurir narkoba yang menyuplai barang haram itu ke seluruh Jakarta. Bahkan kadang juga ke kota-kota besar lain di Indonesia.
-----------V-------------
"Darimana kau Rud? kau terlihat seperti habis menangis."
"Aku menjenguk Ayah di penjara." ia mengatakannya sambil menunduk dan kembali matanya berkaca.
"Ada apa? kau berbicara dengannya?" aku semakin penasaran, apalagi Rudi sesenggukan dan telah jatuh air matanya.
"Ternyata ia dijebak. Wanita yang bersamanya di hotel waktu itu hanya wanita suruhan. Dan uang yang ia terima itu adalah jebakan dari lawan politiknya."
Aku lemas dan tak ku sadari ternyata airmataku telah membanjiri pipi dan leherku.
Lalu Rudi melanjutkan; "Aku lihat ayah menulis surat banyak sekali, ia titipkan kepada kurir di penjara untuk kita berdua. Namun tak satupun sampai kepada kita. Surat-surat itu dibuang sipir itu begitu saja ke tempat sampah." ia berhenti sejenak untuk menangis sesenggukan.
"Aku membaca satu persatu surat itu. Ku pungut semua surat itu sebelum akhirnya mereka bakar. Ayah kita tidak bersalah. Bajingan-bajingan tikus rakus yang tertawa girang itu yang seharusnya dipenjara."
Kami berdua berpelukan dan menangis sepanjang malam di bawah purnama yang ranum. Semua telah terlambat. Kami sudah tak mampu berbuat apapun. Biarlah skenario Tuhan yang menentukan ini semua. Kami hanya bisa menunggu Tuhan berkenan menerima kami di Surga NYA.
*Pict : https://www.voaindonesia.com/a/studi-kaitkan-gangguan-tidur-dengan-bulan-purnama/1710399.html
Matheus Aribowo
Salatiga, 26 Juli 2017
Komentar
Posting Komentar