Cerpen : Katamu Aku Anakmu
“Ranti, ranti…” terdengar suara lembut memanggil namaku. Diiringi beberapa tangis teman-temanku. Mobil mulai berjalan dan semua menjadi sunyi.
Bau asap, hawa panas dan pengap. Suara klakson dan knalpot berebut tempat di telingaku. Mobil masih terus berjalan. Sepertinya menuju tempat yang asing. Sepanjang jalan tak ada perbincangan. Hanya beberapa kali terdengar siul yang ku yakin nadanya ngawur tak jelas referensinya. Mungkin sekedar untuk memecah kesunyian. Orang dewasa memang aneh, mereka suka bersandiwara. Suka sekali bermain-main ekspresi yang berbeda dengan yang dirasa. Berbeda dengan anak-anak yang bermain ekspresi sesuai apa yang ia rasa. Mengalir begitu saja seperti tanpa perintah atau komando. Senyum di dalam senyum, tangis di dalam tangis. Tetapi tidak dengan orang dewasa. Sering ada tangis di dalam tawa, juga sebaliknya.
Mobil berhenti setelah beberapa kali seperti menginjak polisi tidur. Polisi seperti apakah mereka ini, yang rela diinjak. Tetapi yang ku dengar polisi tidur itu bukan polisi sungguhan. Lalu siapa yang sering ku dengar di berita bahwa banyak anggota polisi tertidur saat berjaga di pos. Semoga bukan mereka yang terinjak mobil yang ku tumpangi.
Pintu mobil terbuka dan udara di luar benar-benar panas. Terik mentari pun kurasakan menyengat begitu tajam. Aku yakin ini bukan tempat di mana biasanya aku pulang.
Pak Sarmin menuntunku ke tempat yang lebih teduh. Karena kulitku tidak lagi terbakar.
“Siapa namamu Nak?”
Terdengar suara lirih seorang perempuan paruh baya.
“Ranti, Bu…” ku jawab seketika.
“Kau cantik sekali Nak, sungguh” Sanjungnya dengan nada yang merayu agar aku percaya.
“Terima kasih bu.” lagi ku jawab sambil tersipu malu.
Kata teman-temanku memang aku cantik. Dengan rambut panjang hitam berkilau alami yang memahkotai wajah oval mungil. Lesung pipi terukir di pipi kanan dan kiriku. Bulu mata lentik alami bukan rekayasa. Serta alis sedikit tebal dengan garis tegas bukan hasil sulam. Aku senang sekali setiap kali teman-teman mendeskripsikan parasku. Serasa aku seorang puteri raja dari sebuah kerajaan yang damai dan tenteram.
“Suaramu juga lembut, santun sekali” tambahnya sekali lagi.
Kali ini aku menjawabnya dengan senyum malu. Sembari sedikit memalingkan wajah tanda ingin terus dipuji.
Sebagaimana gadis kebanyakan, kami akan sangat senang menerima pujian. Mungkin karena wanita itu terlahir untuk dipuji paras dan keanggunannya.
“Silahkan masuk Nak, akan ku buatkan kau teh terenak di seluruh dunia.” Ajakan Ibu pemilik rumah yang belum sempat ku tanya namanya itu.
Bersama dengan Pak Sarmin aku masuk dan duduk di sofa empuk dan nyaman. Udaranya sejuk, terasa seperti di kebun teh tempatku biasa menghabiskan sore. Sekarang terdengar pula suara pembaca berita politik yang bikin pusing orang-orang dewasa. Pak Sarmin pun akhirnya angkat bicara (mengomel sekenanya), setelah sedari tadi hanya tertawa kecil dan berdehem.
Ibu pemilik rumah kembali datang membawakanku teh yang katanya terenak. Setelah beberapa menit duduk diam dan mendengarkan berita gubernur yang membangun taman-taman kota dan fasilitas-fasilitas difabel di tempat umum. Akhirnya seteguk teh ini membawa kelegaan di dada dan tenggorokanku.
Sambil menikmati teh ini. Ibu pemilik rumah bercerita bahwa ia ingin sekali mengajakku berjalan-jalan di taman-taman kota. Bercanda bersamaku. Menuntunku di sepanjang tepian sungai yang jernih. Menikmati musik alam di tepi kota yang masih sejuk. Juga bermandi matahari di pantai di sebelah utara kota. Ia bercerita dengan begitu antusias, seakan-akan tak lama lagi kami berangkat mewujudkan keinginannya. Hingga kemudian tiba-tiba ia berhenti bercerita dan terdiam.
“Teh ini benar-benar enak bu, kau yang membuatnya sendiri?” Tanyaku seketika.
“Iya Nak, sengaja ku buatkan untukmu. Aku telah menunggumu sejak lama. Saat-saat ini telah kunanti-nantikan” tiba-tiba suara Ibu pemilik rumah menjadi berat dan tersedu seperti ingin menangis.
Aku pun bingung dan tak mampu mengucapkan apa-apa. Pak Sarmin juga sepertinya diam saja membisu. Mungkin dia berpikir sama denganku. Bingung harus berkata apa.
Di dalam kebingunganku, ku beranikan diri bertanya; “Ibu tinggal di rumah ini sendiri?”
Ia menjawab dengan nada kesepian yang dalam. Menandakan memang ia selama ini tinggal sendiri di rumah ini.
Mendengar nadanya berbicara, aku tak berani lagi menanyakan sesuatu tentang kesendiriannya di rumah. Jadi ku alihkan saja pada topik yang sedang hangat di berita kala itu. Tentang fasilitas bagi kaum difabel yang harus dipenuhi di tempat-tempat umum ibukota. Tentu menyenangkan melihat setiap warga negara mendapatkan haknya. Hak yang setara dan adil sesuai pri kemanusiaan.
Entah mengapa Pak Sarmin dan Ibu pemilik rumah malah diam saja. Mereka seperti menyembunyikan sesuatu. Aku memang tak pernah bisa memahami orang dewasa. Mereka sungguh aneh. Suka sekali menyembunyikan banyak hal. Padahal, mengetahui fakta dengan segera bisa membuat kita belajar lebih kuat dalam menghadapi kenyataan hidup.
Kurasakan Ibu pemilik rumah memelukku kali ini. Sambil menangis dan tak mengatakan apapun. Ku biarkan situasi aneh ini tanpa ekspresi apapun. Namun aku merasakan kerinduan yang sangat dalam dan begitu hangat dalam pelukannya. Perasaan yang aneh. Pelukan dari orang yang bahkan belum ku ketahui namanya.
Lirih sekali Ibu pemilik rumah akhirnya berbisik di telinga kananku ; “Maafkan Ibu nak, kita harus berpisah 11 tahun lamanya. Ibu bahagia telah melihatmu lagi. Jika saja kau dapat melihatku, ku harap kau juga merasakan bahagia yang sama denganku.”
Seketika kedua mataku basah dan banjir tak tertahankan. Dadaku sesak, terisak sesenggukan. Sama seperti Ibu pemilik rumah.
Setelah beberapa saat kami sibuk dengan perasaan masing-masing, sekali lagi ia berbisik ; “Nak, akulah ibumu.”
Matheus Wahyu Aribowo
Salatiga, 16 Juli 2017
Komentar
Posting Komentar