Sambi Lalu
"Mengapa kau suka Salatiga dan Bandung?"
Karena Salatiga menyediakan semua hal yang membuatmu terus hidup dalam hari-hariku. Meski kau jauh dan tak lagi di sini. Semua tentangmu masih rapi tersimpan di setiap sudut kota ini. Setiap sudut kota dan tak ada yang terlewatkan.
Pernah aku tiba di sebuah persimpangan jalan, aku terhenti dan melihat kita bergandengan tangan di pedestrian. Lalu di sebuah kedai teh. Secangkir teh di cangkir berwarna putih polos yang kupesan, memantulkan wajahmu. Tersenyum kepadaku. Di siang yang terik aku berjalan menyeberang keramaian kota. Sampai pada sebuah toko pernak-pernik, dan aku melihatmu memilih benang berwarna-warni. Terlihat kau menimang-nimang benang-benang itu dan bertanya padaku. Benang berwarna apa yang hendak kau bawa pulang. Aku hanya tersenyum. Dan disebuah hari hujan ditengah musim kemarau. Sengaja ku tenggelamkan diriku pada rintik-rintik hujan. Aku ingat, rintik-rintik hujan di kota ini selalu membawa kehangatan dan pesan-pesan surgawi. Ku pejamkan mataku. Dirimu seketika hadir dan menari bersamaku. Menyambut butir-butir air dengan melodi alam yang menggaung kian kemari.
Di kota ini, ada rasa yang tetap hidup walau nafasnya telah di ambil pergi. Ke kota ini, adalah caraku membuatmu hidup di keseharianku. Bukan sekadar di angan yang ku bayangkan. Lebih kepada suasana yang sengaja Tuhan cipta senyata-nyatanya.
Sejatinya, masih terlalu banyak yang harus ku ceritakan tentang Salatiga, kita dan segala hal yang pernah ada. Tetapi mulut pikiranku bungkam. Tetapi jiwaku memilih keterasingan. Meneduh di bawah kesunyian. Lantas batinku mulai bercakap dengan semesta. Mengisahkan beberapa bait senyum dan cinta yang pernah kita perankan bersama.
"Mengapa Bandung juga?"
Karena di Bandung, kita pernah meletakkan mimpi untuk selalu bersama. Karena, jika Salatiga menyimpan semua kisah kita, maka Bandung menyimpan harapan kita. Mimpi yang dahulu pernah kita tanam bersama, sempat kita sirami, namun entah kita yang menuai atau bukan nantinya.
Sampai detik kutulis cerita ini, Bandung masih menjadi mimpi yang aku berharap ketika aku terbangun nanti, aku tengah berada di salah satu sudutnya. Menyaksikan mentari muncul di bawah langitnya. Berjalan di atas tanah-tanahnya. Menyaksikan kegelapan kembali datang di bukit-bukitnya. Dan menatap bintang-gemintang yang menaungi indah gemerlap lampu-lampu kotanya. Terlebih di sana ada seseorang yang membawa serta hatiku bersamanya. Yang entah lupa atau sengaja, tak pernah ia kembalikan pada pemiliknya. Hingga aku di sini, hidup dengan setengah hati, serpihan dari inti yang terbawa.
"Mengenangmu, seperti menengadah kelangit kala malam cerah tanpa awan. Kilau-kilau cerita lalu menghujani hati dan pikiran."
"Tetapi mengharap kau kembali adalah mustahil, seperti berharap bertemu embun pagi kala senja t'lah datang."
Dan melupakanmu, bagaikan membiarkan bulan datang sendiri kepada malam tanpa pancaran sinar mentari. Tiada pernah terjadi. Karena ketika bulan harus bersembunyi pun, mentari selalu menemukan cara untuk menyinarinya.
Matheus Aribowo
Salatiga, 30 Juli 2017
Komentar
Posting Komentar