Biarkan Aku Sendiri (dulu)
Dan, sampailah dititik dimana aku benar-benar tak mampu “sok tahu” tentang apa yang akan terjadi esok. Dititik yang semua orang anggap sebagai titik "0". Dititik saat aku lebih banyak memiliki waktu untuk “menunggu” daripada menikmati sebuah perjumpaan. Dititik dimana aku menikmati setiap detik waktu dengan rasa yang bercampur hingga hilang rasanya. Dititik dimana aku tak percaya siapapun karena nyatanya aku tak percaya pada diriku sendiri. Sekarang.
Bulan baru saja tertutup awan abu-abu pekat. Menghilanglah ia kini dari pandanganku. Seketika dingin menyergap seluruh tubuhku. Beriring dengan menghilangnya suara canda tawamu dari telingaku. Sekelam langit malam itu di atas sana, aku murung menyalahkan diriku sendiri. Mencoba menyesali apa yang tak dapat disesali. Masa lalu. Dan mencari kesalahan dari apa yang tak pernah salah dimuka bumi ini. Kejujuran.
Masih ku ingat candaan kecil diawal percakapan kita tadi. Masih terasa kerut pipiku saat kita tertawa bersama tadi. Seolah tak ada jarak di antara kita untuk bercakap dan bercanda. Masih tersimpan betapa lucunya ceritamu tentang hari-harimu disana.
Setiap detik waktu ku kini begitu berharga, karena di dalamnya ada rindu yang kian bertambah setiap detiknya. Seluruh hal yang ku kerjakan hanya untuk menunggu saat dimana kita kan bertemu di udara. Bertemu dalam bercerita, bercerita hari-hari yang penuh penantian. Dan semua cerita lain hanya pembuka untuk datangnya kebahagiaan terbesar, yaitu menyapamu dalam canda dan tawa bahagia.
Lampu kamarku telah mati sedari tadi. Tak lama setelah dingin itu datang dan mencoba mengikutiku. Gelap tersisa, menemaniku menulis sedikit cerita kita. Cerita saat kita saling belajar alangkah berharganya sebuah kebersamaan. Dan begitu indahnya memiliki mimpi dan harapan. Terutama, betapa intimnya perjumpaan mesra yang disaksikan Tuhan dalam setiap doa kita. Doaku untuk kita, doamu untuk kita. Mungkin Tuhan di atas sana tersenyum melihat doa kita yang sederhana ini. Semoga IA penuhi janjiNYA untuk kita. Masa depan yang penuh harapan.
Tengah malam t’lah berlalu menjadi dini hari, aku masih hidup dalam khayalku. Terjaga namun bermimpi, membayangkan namun tak merasakan. Aku benar-benar tak tahu apa yang kau rasakan saat ini. Setidaknya setelah kecupan (yang tak ku tahu maknanya) malam tadi. Entah pikiran apa yang mampir melintas memenuhi isi kepala dan hatimu. Hanya rindu yang kini menjadi penerang mata hatiku. Untukku memastikan dan melihat ada rindu yang sama yang kau rasakan dari sudut berbeda belahan bumi ini.
Sepi, senyap dan begitu hambar malam ini. Mungkin Tuhan tak pernah memasak dalam kegelapan, hingga tak ada asin bahkan manis yang lewat untuk ku kecap. Hanya betapa baiknya IA mengasihi kita semua yang dapat ku kecap dan rasakan sampai detik ini dalam hidupku. Ku yakin alam mimpi t’lah membawamu tersenyum kini. Sembari menanti esok dengan misteri terbarunya. Hari baru selalu membawa misteri baru. Membawa cerita baru dan harapan baru. Membawa cerita yang ingin kita hidupi kelak dalam kebahagiaan. Seperti mimpi semua orang akan kehidupannya di masa depan. Kedamaian, kebahagiaan, kebersamaan, mungkin juga kepuasan. Atas kehidupan tak sempurna ini sebagai pemberian dari Yang Maha Sempurna, Khalik Langit dan Bumi.
Amin. Kata ini menutup doaku untuk kita malam ini. Tetaplah tersenyum wahai engkau pemilik rindu yang sama denganku.
Pict : http://fiksiana.kompasiana.com/fitrimanalu/perempuan-berselubung-kabut_56235d8b597b614e07655760
Komentar
Posting Komentar