Yang Pergi Saat Senja Datang
Aku selalu duduk di sini sejak siang hari . Menyaksikan sawah terbentang hijau dan kuning di hadapanku. Membaca buku atau sekadar mendengarkan musik. Sembari menikmati angin sore yang sejuk dari teras belakang rumah nenek. Suasana yang membuat hatiku damai. Setidaknya membuatku perlahan melupakan kepenatan di kota. Aku mengambil cuti 2 minggu, di tambah long weekend 3 hari. Semoga cukup untuk membuatku sembuh dari perihku.
Pemuda itu datang lagi. Ia kembali membawa kuas, cat air dan papan kanvasnya. Duduk tepat di tepi sawah. Selalu saja membelakangiku. Sudah tiga hari ia selalu datang ke tempat yang sama. Maka aku selalu melihatnya, karena aku juga selalu di sini. Memperhatikannya menggoreskan kuasnya pada kanvas. Melihat rambut panjangnya terbang tertiup angin.
Jika lukisannya telah selesai, ia akan berdiri di samping lukisannya. Menghadap ke sawah. Tak mengucapkan apapun, hanya diam. Namun diam selalu memiliki lebih banyak kata-kata.
Aku tak pernah melihat wajahnya, bibirnya atau matanya. Aku hanya selalu melihat lukisannya yang begitu indah dan sederhana. Lukisan yang sama setiap hari. Aku juga tak tahu sejak kapan ia melukiskan itu. Setahuku, selama tiga hari aku di sini ia selalu melukis di tepi sawah itu. Setelah terlihat menarik nafas panjang dan membuangnya perlahan, ia akan beranjak pergi dan menghilang di balik pepohohan. Ia selalu pergi saat senja datang.
Namaku Senja. Karena itu aku selalu suka melihat senja. Senja mampu mengubah warna langit biru menjadi jingga. Ranum warnanya menyejukkan jiwa. Membuat damai siapapun yang menantikannya. Tetapi sepertinya tidak untuk pemuda pelukis itu. Mungkin ia justru membenci senja. Karena selalu saja meninggalkannya begitu saja.
Sore di tempat yang sama namun hari berbeda, pemuda itu terlihat sudah hampir menyelesaikan lukisannya. Aku baru saja memasak beberapa makanan dan membuat teh untuk menemaniku di teras sore ini. Seperti biasa. Aku duduk menghadap pemuda itu melukis. Hanya memandang ia yang sibuk dengan kuasnya. Sementara aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Menebak-nebak siapa nama pemuda itu. Apa pekerjaannya, atau bahkan membayangkan seperti apa wajahnya.
Lalu sebelum senja datang ia akan berdiri sejenak. Berkemas, lalu meninggalkanku yang masih termangu menatap langit berubah jingga.Selalu seperti itu setiap sore. Sampai aku hafal waktu dia akan datang dan kapan ia akan berdiri kemudian pergi dan menghilang di balik pepohonan. Semakin hari aku semakin penasaran dengan pemuda itu. Namun aku sama sekali tak punya alasan untuk mendekat dan memulai sebuah percakapan dengannya. Ingin suatu kali aku bertanya, untuk apa semua lukisan-lukisan itu. Mengapa setiap hari ia selalu melukis hal yang sama. Memang indah lukisannya, tetapi untuk siapa. Karena tak cukup bernyali, kusimpan niatku itu dalam diam.
Besok pagi-pagi benar aku harus kembali ke ibukota. Tiket sudah ku pesan, juga beberapa oleh-oleh untuk teman kantor sudah ku beli. Sore ini aku sengaja menyiapkan dua cangkir teh dan beberapa makanan ringan. Aku berniat untuk mengajaknya menikmati teh bersama sebelum ia pergi saat senja datang. Dan sebelum aku juga pergi besok.
Di waktu yang sama dengan hari-hari sebelumnya, ia datang. Membelakangi ku seperti yang sudah-sudah. Aku memperhatikannya. Memasang kanvasnya dan mulai masuk ke dalam dunia lukisannya. Beberapa menit lagi senja datang, ia pasti akan segera pulang. Aku berdiri namun ragu. Terjadi peperangan hebat dalam batinku.
Hatiku ingin sekali mengenalnya. Aku pengagumnya. Juga lukisannya. Tetapi aku ragu, jantungku berdebar hebat. Suasana sore yang aneh. Terasa begitu ramai dan kacau. Aku masih berdiri dan sesekali melirik jam tangan. Sebentar lagi ia akan pergi. Aku harus segera mendekatinya. Perasaan yang sangat aneh. Ku tarik nafas panjang bersamaan dengan ia menarik nafas sebelum ia pergi.
Dalam sekejap aku telah meraih pundaknya.
"Hai" kataku malu-malu sambil menepuk pundaknya.
Lalu ia menoleh tanpa terkejut. Mimik wajahnya datar dan segera ia membalas sapaku dengan senyum kecil. Akhirnya aku melihat wajahnya. Pemuda pelukis misterius yang mencuri perhatianku sebelum senja. Matanya begitu tajam, bola matanya bening berwarna jingga. Wajahnya bersih dan cerah bersinar. Membuatku seketika tenggelam dalam lamunan.
"Hai, siapa namamu nona?"
Aku melihat bibir tipisnya bergerak-gerak seperti berkata-kata. Dan wajahnya berubah seperti heran melihat sesuatu. Astaga, ia heran melihatku termenung memperhatikan wajahnya.
"Oh, iya, apa? maaf aku tak mendengar kata-katamu." seketika aku terperanjat dan mengatakan kata-kata itu sekenanya. Wajahku merah meredam malu.
"Hai, kau baik-baik saja?"
"Ah, iya aku baik-baik saja. Aku hanya ingin mengajakmu mampir." Aku tak tahu mendapat keberanian darimana tiba-tiba berkata demikian.
Ia diam hanya menatap mataku. Semua aliran darahku seketika terasa menuju kepala, kulit kepalaku sampai bergetar-getar rasanya. Detak jantungku juga tiba-tiba terdengar. Aku tertunduk malu, bingung harus bersikap seperti apa.
"Aku telah menyiapkan teh untukmu." Lanjutku masih tertunduk.
"Baiklah." katanya singkat.
Kami berdua telah duduk bersebelahan menikmati senja yang sama. Diam tanpa berkata-kata. Tetapi diam selalu memiliki lebih banyak kata-kata.
"Namaku Senja." kataku memecah keheningan.
"Nama yang indah, seindah..." ia berhenti berkata-kata sambil melihat senja yang ranum.
"Namaku Surya." ia mengatakannya sambil menoleh ke arahku.
Setelah mentari pergi tak terlihat lagi, ia berdiri lalu pamit dan pergi.
"Terima kasih tehnya." ku dengar kalimat terakhirnya.
Aku hanya diam melihatnya melangkah pergi. Dalam batin aku meyakini, ialah yang kutunggu selama ini. Tetapi mengapa ia selalu pergi saat senja datang. Aku telah jatuh cinta, jatuh cinta pada seseorang yang baru sekali ku lihat wajahnya. Yang baru saja aku mendengar suaranya. Dan yang pergi saat senja datang.
Mengapa cinta selalu datang tidak tepat waktu. Sering terlambat, atau terlalu cepat kali ini aku tidak tahu. Yang pasti esok pagi saat surya datang, aku akan pergi.
Matheus Aribowo
Salatiga, 1 Agustus 2017
Komentar
Posting Komentar