Cerpen : Aksa & Alana


Aku menutup mata. Mencoba merasakan suatu kehadiran tanpa melihatnya. Katamu, kau selalu datang bersama angin yang mengalir lembut di bawah telingaku. Menyibak lembut rambut hitamku yang ku biarkan terurai. Jika angin yang hadir ini adalah wujud rindumu, aku percaya kau tengah tersenyum kali ini. 

Aku membuka mata dan langit berubah jingga. Warna keemasan berpendar tak tentu arah. Menerobos kawanan awan yang berjalan pelan. Aku tahu benar, hadirmu telah terganti emasnya langit. Damaiku dulu ialah saat ku buka mata dan ku lihat matamu menjatuhkan pandang kepada mataku. Damaiku kini ialah ketika ku buka mata dan ku lihat senja kesukaanmu bersiap pergi tidur. Setelahnya bibirku kan berucap, sampai jumpa esok.

Aku belum memulai lembar baru dalam buku kehidupanku. Tetapi aku juga tak berhenti di jurang masa lalu. Hanya saja aku terus berjalan tanpa menuliskannya lagi. Aku mencintaimu, aku juga mencintai kepergianmu. Seperti aku mencintai hari yang cerah, aku juga mencintai senjanya yang pasti juga indah. 

Aku masih melakukan hal-hal seperti biasanya. Seperti yang kita lalui dahulu. Aku masih mampir ke kedai teh kesukaanmu setiap jumat sore. Aku masih ke toko buku di ujung jalan dekat rumahmu, setiap sabtu pagi. Aku masih lari pagi di gelanggang olahraga tempatmu dulu sering berolahraga setiap minggu pagi. Aku masih mendengarkan musik-musik folk akustik kesukaan kita. Bahkan beberapa dari mereka membuatkan lagu untukmu. Aku percaya kau juga pasti mendengarkannya. 

Di sela malam aku sering sempatkan duduk di atap rumah, sekadar menengokmu dari sana. Barang kali kau kirimkan satu bintang yang paling terang untuk menemani tidurku. Seperti katamu, dalam kesendirian yang benar-benar sendiri kita bisa bertemu dengan diri kita sebenarnya. Kini diriku sendiri selalu hadir dalam kesendirianku. Menggantikan sosokmu yang tak pernah pergi dari hatiku. Kehadiranmu dan kepergianmu adalah jalanku menemukan siapa diriku. 

Satu hal lagi yang masih tetap dan selalu aku lakukan. Aku masih menulis. Merangkai kata-kata yang bertebaran di kepalaku. Aku sering menulis tentangmu. Menulis tentang dirimu yang sering datang tiba-tiba. Tentang dirimu yang juga sering menghilang dengan tiba-tiba. Tentangmu yang tak pernah tersenyum, kecuali saat mata kita terpaut menjadi satu. Tentangmu yang begitu sempurna mengisi hari-hariku. 

Aku juga sering menulis kesedihan-kesedihan kita dahulu. Saat kau lupa menjemputku karena tertidur di ruang tamu. Saat aku tak sengaja merusak gagang gitar kesayanganmu. Tetapi semua itu bukan lagi sebuah kesedihan kini. Waktu telah mengubahnya menjadi kenangan manis yang mampu menggerakkan otot-otot di sekitar bibirku. Aku selalu tersenyum ketika menulis tentangmu. 

Pernah sekali waktu, ragaku tak mampu melawan cuaca. Aku terkulai lemas di kamar hingga berhari-hari. Yang dapat aku lakukan hanya menulis dan mendengarkan lagu-lagu kesukaan kita. Maka dalam raga yang terpenjara kelemahan itu aku manfaatkan sisi terkuatku. Imajinasi dan ingatanku tentangmu. Aku menulis banyak hal tentang dirimu.

Mungkin jika kau membutuhkan biografimu, aku telah membuatnya waktu itu. Dengan perlahan detik demi detik kupenuhi pikiranku dengan namamu. Kupenuhi anganku dengan wajahmu. Semua kepingan tentangmu ku rakit hingga menjadi sebuah perahu yang kemudian ku kemudikan menyusuri lembar demi lembar buku yang ku tulis. Aku mengenangmu seakan-akan kau duduk di samping ranjangku dan bercerita tentang siapa dirimu. Dengan rebah aku mendengarkan dan mengabadikan setiap kalimatmu ke dalam kertas-kertas dipangkuanku. Aku akan memperhatikan gerak bibirmu. Yang sesekali mungkin akan kau sisipkan senyum di sana, atau sedikit bumbu kesedihan.

Pikiranku ternyata tak mampu menjaring setiap keping ingatan tentangmu. Maka saat ragaku kembali pulih, aku datang ke rumahmu. Duduk di teras rumahmu. Di bangku sebelah kanan, dan membayangkan dirimu juga duduk di bangku sebelah kiri. Lalu dua cangkir teh terhidang di atas meja di antara kedua bangku. Sembari uap air menari di atas cangkir teh, biasanya kau akan bertanya tentang kabarku. Lalu kau mulai mengajakku berbicara dalam diam. Dalam hening. Kemudian dari pena yang kita genggam akan lahir puisi hasil keheningan kita berdua. Kini puisi-puisi itu telah menjadi buku. Toko buku di ujung jalan sana juga menjualnya.

Kau pasti bangga mengetahuinya. Aku masih ingat, kau ingin sekali menyatukan puisi-puisimu dalam sebuah buku kumpulan puisi. Bahkan kita telah merancang judul dan gambar untuk sampulnya. Sekarang mimpimu telah menjadi nyata. Sampul buku kumpulan puisi itu bersampulkan gambar wajahku. Hasil sketsamu dulu, kala kita duduk berdua di tepi hutan pinus. Menjelang senja datang kau melukiskan wajahku dari satu sisi saja. Katamu, itu melambangkan pengenalanmu akan sisi lain kehidupanku. Begitu juga dunia yang sering memandangmu hanya dari satu sisi.

Judul buku kumpulan puisi itu juga ku buat sesuai rancangan kita dulu. Ide yang muncul ketika kita berlari-lari meninggalkan jejak di pasir putih pantai tanpa nama. Katamu waktu itu, namaku sangat indah untuk dijadikan sebuah judul buku. “Alana” yang berarti persembahan, kecantikan dan kebangkitan. Kau menambahkan kalimat yang menyatukan arti-arti dari namaku. Bahwa kelak buku itu adalah sebuah persembahan yang cantik dan mampu membangkitkan jiwa-jiwa lesu dan layu. Membawa gairah-gairah baru pada mereka yang membacanya dan menikmatinya dalam keheningan dirinya.

Benar saja apa yang kau katakan. Hari-hari ini orang berlomba-lomba bermain puisi. Banyak pasangan menghadiahi puisi-puisimu untuk kekasih mereka. Banyak juga dari mereka mulai mencipta puisi sendiri, mencoba berbaur dengan hening. Berharap kau datang membantu mereka mempersembahkan puisi terindah untuk seorang tercinta. Di kedai-kedai kopi dan teh, puisi-puisimu menghias dinding-dinding mereka. Di kaos-kaos yang dikenakan pengunjungnya terdapat sketsa wajah dan namaku. Semua orang kini mencintaimu.

Kau tahu, aku selalu tersenyum menyaksikan itu semua. Kau begitu hidup dalam duniaku. Setiap hal yang dapat kurasakan dengan indraku selalu membawaku pada sorot matamu. Sorot mata yang selalu berbicara lebih banyak daripada bibir. Sorot mata yang tak pernah padam. Seakan semua kekuatanmu kau simpan di sana. Kau selalu memandangku dengan cara berbeda. Sama sekali berbeda dengan cara orang lain. Kau memandangku dengan caramu sendiri. Cara yang tak ku kenal, tetapi selalu ku rindu.
Sorot matamu juga yang membawa kita pada perkenalan. Pagi itu kau memandangku, seakan kau tak mampu menatap ke arah lain. Seakan-akan hanya wajahku yang memantulkan cahaya kepada kedua matamu. Aku termangu. Anganku berlarian tak tentu arah. Tatapanmu melahirkan emosi-emosi unik yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Ada bahagia, sedih, takut dan riang gembira yang mengalir bersama-sama. Sampai-sampai ragaku tak mampu mengekspresikanya. Kecuali diam mematung dan membalas tatapanmu. Aku mendengar aliran darahku berdesir ke seluruh tubuh. Aku mendengar detak jantungku begitu lantang. Dan suara nafasku bersaut-sautan.

Ketika itu kita hanya terhalang sebuah rak buku besar, dengan sebuah rongga yang tercipta karena dua buku telah kita ambil masing-masing. Kita mengambil buku yang sama. Berjalan ke kasir bersama-sama. Kemudian aku terlebih dulu tahu namamu dari kasir toko buku yang memanggilmu “Aksa”. Yang kemudian aku dapatkan artinya ialah jernih. Sejernih wajah dan matamu. Itulah pertemuan kita untuk pertama kali.

Keping-keping tentang dirimu semakin jelas kini. Aku berjalan menyusuri jalan di tengah bentangan sawah luas. Jalan menuju pantai tanpa nama tempat kita menghilang dari riuhnya dunia. Katamu, dari dalam debur ombak muncul kata-kata yang jika dirangkai akan menjadi puisi yang indah. Itulah puisi semesta. Itulah wujud lain keindahan semesta dalam kata-kata mereka yang tak mampu kita pahami. Di pantai tanpa nama ini pula, kau sering menceritakan semua perasaanmu. Mulutmu selalu jujur, kata-katamu jernih sebagaimana arti namamu. Aksa.

Dari dirimu aku belajar begitu banyak hal. Betapa kau mengenal dirimu sendiri. Betapa kau selalu berdiskusi dengan dirimu sendiri untuk merespon apa yang dunia perlakukan terhadapmu. Sungguh mulia hatimu. Kau tak pernah menyimpan kemarahan. Katamu, kemarahanmu selalu kau hanyutkan bersama ombak yang menyapu pantai jutaan kali dalam sehari. Aku mengagumi caramu memperlakukan batinmu. Caramu merawat hatimu.

Memang benar, orang baik itu sangat disayang oleh Tuhan semesta alam. Meski kau telah pergi bersama awan yang menjadi hujan dan jatuh di wajahku, aku masih menyimpan damainya pelukmu.
Di bawah awan kelam yang tak lama lagi jatuh sebagai hujan hari itu. Akhirnya kau menyerah kepada sakit yang selama ini menyiksamu dari dalam tubuhmu. Kepergianmu membawa haru yang tak terbendung. Hujan deras turun bersama tangisan ratusan orang yang menungguimu. Aksa, seorang Sarjana di bidang sastra penghuni sebuah panti asuhan. Yang selama ini mengabdikan hidupnya untuk merawat dan menyekolahkan anak-anak lain di panti asuhan tempat tinggalnya.

Semua orang mengenalmu sebagai seorang yang jujur dan apa adanya. Kehadiranmu selalu membawa kebahagiaan. Membawa harapan yang jernih bagi orang lain. Lihatlah kini, setelah tiga tahun berlalu. Semua orang masih menyimpan dengan baik tentangmu. Namamu, lukisan wajahmu dan karya-karyamu, semua tersusun rapi di sebuah ruangan yang dulu kamarmu. Dan rumah yang kau beli dulu, telah menjadi galeri seni. Siapapun boleh datang dan mencipta sesuatu untuk di bagikan atau dijual untuk biaya sekolah anak-anak panti asuhan.

Hidupmu kini abadi. Semua orang dapat merasakannya. Seperti aku juga merasakan hadirmu dalam hembusan-hembusan angin. Pada senja yang tak pernah datang terlambat. Dan pada malam yang menyimpan senyummu untuk ku bawa dalam mimpiku.
Pagi ini ragaku kembali melemah. Aku tak pernah mengerti apa yang terjadi. Dokter selalu saja hanya mengatakan aku tak boleh terlalu lelah. Aku harus banyak istirahat dan tidak boleh banyak pikiran. Padahal aku bahagia, aku bahagia menjaga Rumah AKSA dan membantu banyak anak untuk bisa pergi bersekolah. Tetapi mengapa ragaku serapuh ini.

Dalam rebahku kali ini. Aku hanya mampu mengingatmu. Membayangkan kembali semua cerita tentangmu, yang telah kutulis dan juga menjadi buku. Pada sampulnya tertulis namamu, juga sketsa wajahmu sebelah sisi. Itu melambangkan kerinduanku kepadamu. Padamu yang kini hidup di sisi lain dari kehidupan. Menyaksikanku dari sisi kehidupan lain dan menunggu akan sebuah pertemuan kembali.

Hari ini di bulan desember. Di bawah awan yang juga tak lama lagi akan runtuh. Aku menuju ke alammu. Aku juga harus menyerah pada sakit yang hidup bersamaku dalam tubuhku. Aksa, Tuhan sungguh baik. Mempertemukan kita kembali, meski di dunia yang berbeda. Tetapi lihatlah. Karya-karyamu, karya-karyaku hidup dan menyatukan banyak jiwa. Menjadi persembahan yang cantik dan membangkitkan hati yang jernih.

Dalam keheningan yang lebih sunyi daripada kesunyian, kita kini bertemu kembali. Berpaut dalam tatapan. Berbagi senyuman. Memberi senyum atas cerita singkat kita. Sampai detik kita bertemu kembali, aku masih belajar dari dirimu. Katamu, jika kita hidup dengan mengenal diri kita sendiri. Kita tak akan salah memberi hasil. Jika kita pohon kopi maka kita menghasilkan kopi. Jika kita pohon teh, maka kita menghasilkan teh. Tetapi celakalah jika kita sendiri tak mengenal siapa diri kita sendiri, maka selamanya kita tak menghasilkan apapun. Atau bahkan menghasilkan sesuatu yang salah. Kini kita berdua telah berdiri bersama. Menyaksikan hasil yang telah kita perjuangkan dalam pengenalan diri kita.

Aku mencintaimu, aku mencintai kepergianmu dan aku juga mencintai pertemuan kembali denganmu.

Sebuah puisi yang cantik ku persembahkan untukmu yang jernih jiwanya. Aksa & Alana.

KITA
Aku pernah memintamu dengan sederhana
Melalui doa lirih yang ku senandungkan kepada-Nya
Tuhan pernah memberimu dengan sederhana
Wujud doamu yang ternyata kita ucapkan bersama

Aku pernah bersamamu dengan sederhana
Melewati hari-hari yang penuh senyum dan tawa
Hari-hari pernah menyatukan kita dengan sederhana
Wujud cinta yang menggaung indah melampaui semesta

Aku pernah kehilanganmu dengan sederhana
Dalam kata-kata yang tak pernah terangkai sebelumnya
Aku pernah menangisimu dengan sederhana
Karena nafas dan detak jantung kita tak lagi seirama

Aku pernah merindukanmu dengan sederhana
Dari lagu-laguku yang tak memiliki nada
Aku menyimpan senyummu dengan sederhana

Karena aku masih berharap akan adanya kita 





Matheus Aribowo
Salatiga,  14 Agustus 2017

*Pict : https://lrisar.wordpress.com/2017/07/13/kontributor-terpilih-lomba-cipta-puisi-nasional-tema-senja/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi : Kamus Kecil - Joko Pinurbo

Diambil dari : Suar Aksara - Sudah Saatnya (Bandung)

Sambi Lalu