Orang-Orang yang Keluar di Pagi Hari #1


Punggung dedaunan masih basah oleh embun pagi. Saat ia berjalan pelan sembari membelai beberapa ranting yang sedikit menjulang ke jalan setapak. Matahari belum juga muncul, padahal ia telah berjalan melewati sebuah bukit. Nafasnya masih biasa saja meski jalan menanjak tengah dilaluinya. Beban bakul yang ia ikat dengan selendang di pinggang pun tak membuatnya terengah. Setiap pagi ia selalu seperti ini, beban-beban itu telah menjadi sahabatnya.

Hening pagi adalah kawan terbaiknya. Suara aliran sungai. Kicau burung-burung liar nan merdu. Serta nada sumbang dari nafasnya sendiri, menghiburnya setiap kali lelah menghampiri langkahnya. Belum lagi sapaan embun pagi, juga hembusan udara segar pagi hari. Semua itu dinikmatinya setiap pagi tanpa rasa bosan. 

Bakul berisi sayur di punggungnya adalah bahan sarapan pagi untuk sebuah panti jompo di pinggiran kota. Ia setiap pagi berjalan lebih dari 10km untuk bakul itu. Bukan upah yang ia terima yang membuatnya setia melakukannya. Memang tak seberapa materi yang ia terima. Tetapi hal-hal terindah dalam hidup ini memang tidak terucap kata dan tak terdengar telinga. Keindahan yang hakiki mengalir dalam hati dan hanyut pada perasaan cinta.

Suatu hari, jembatan kayu yang menghubungkan desanya dengan desa lain menuju kota hanyut oleh aliran sungai yang deras. Tak ada jalan lain. Desanya adalah desa petani yang sederhana. Penduduknya kemanapun berjalan kaki dan tidak mengenal kendaraan bermotor. Sehingga jembatan kayu itu hanya satu-satunya akses menuju desa. Tak ada jembatan besi apalagi jembatan beton beraspal. Desa itu adalah desa yang asri dan tenang di atas bukit.

Di hadapan sisa-sisa jembatan yang runtuh. Di pelukan pagi buta yang belum tersentuh matahari pagi. Di sekitar rindangnya hutan yang sunyi dan menenangkan, ia menangis. Berdiri terdiam dan menangis. Dalam benaknya terbayang sambutan kakek dan nenek yang selalu menyambutnya dengan senyum dan sapa setiap pagi. Ia menangis. Bakul di pinggangnya ia letakkan, ia pandangi isinya. Ia menangis.

Air mata perlahan mengalir jatuh di pipi dan dagunya. Di pipi yang juga penuh kerut itu jejak aliran air mata terukir. Dari mulut yang tak dapat berucap itu, sayup-sayup keluarkan nada kesedihan. Hatinya begitu kalut. Beberapa orang yang juga tak dapat pergi dari desa mencoba menenangkannya. Mereka mencoba dengan berbagai cara, dengan isyarat-isyarat seadanya, berharap nenek Rukmi memahaminya. Sebenarnya mereka juga bersedih. Bukan karena tak mampu menyeberang. Tetapi karena melihat ia menangis. Hal yang tak pernah mereka lihat selama mereka mengenal nenek Rukmi.

Namanya Nenek Rukmi. Ia seorang petani sayur yang bisu dan tuli. Ia tinggal seorang diri di gubuk sederhana di ujung desa. Ia bercocok tanam di kebunnya sendiri yang juga tak terlalu luas. Tetapi di umurnya yang sudah menginjak 65 tahun, ia masih sangat sehat dan kuat. Senyum selalu menghias wajahnya. Itulah mengapa ia tetap kuat.

Di saat matahari muncul dengan terangnya, seorang pemuda menggandeng tangan nenek Rukmi. Pemuda itu dan nenek Rukmi berjalan menyusuri aliran sungai. Sampai pada sebuah bagian terdangkal dari sungai itu, pemuda itu menggendong nenek Rukmi menyeberangi sungai. Lalu kembali dan memanggul pula bakul sayur nenek Rukmi. Nenek Rukmi tertegun di seberang sungai. Ia menangis. 

Pemuda itu menyeka air mata nenek Rukmi dengan selendang, lalu tersenyum. Nenek Rukmi membalas senyumnya. Ia mengambil dua buah tomat segar dari bakulnya dan memberikannya kepada pemuda itu. Tak ada kata mampu terucap dari mulutnya. Tetapi tatap matanya mengisyaratkan ribuan kata terima kasih. Pamuda itu kembali menyeberang sungai dan nenek Rukmi melanjutkan perjalanannya. Perjalananan bakul sayur di punggungnya. Perjalanan menuju senyum sapa dan kebersamaan yang mulia.

"Kita tahu, kebaikan selalu menemukan jalannya. Dan jalan itu ialah jalan menuju kebahagiaan yang sejati."



Matheus Aribowo
Salatiga, 21 September 2017

*pict : https://anugerahperkasa.wordpress.com/2012/12/04/kisah-suram-dari-ogan-ilir/

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi : Kamus Kecil - Joko Pinurbo

Diambil dari : Suar Aksara - Sudah Saatnya (Bandung)

Sambi Lalu