Orang-Orang yang Keluar di Waktu Malam #1


Baju sudah hitam. Dipakaikannya lagi jaket hitam. Lalu celana pendek hitam turut menghias tubuhnya. Sebelum keluar, ia sambar topi hitam. Sambil berjalan keluar dengan sepasang sandal hitam, ia kenakan topi hitam itu. Sempurna, kini seluruh tubuhnya hitam. Kulitnya memang sejak kecil hitam. Bukan, ia bukan orang berkulit hitam. Kulitnya hitam karena ia suka bermain layang-layang di masa kecil.
Kini ia telah beranjak tua. Rambutnya tak lagi hitam sempurna. Giginya pun telah hitam di beberapa bagian. Meski matanya masih hitam. Namun sorotnya telah pudar terkikis jaman. Setiap malam di bawah langit yang hitam, ia duduk di tikungan jalan beraspal hitam. Menghitung mobil yang lalu lalang. Tak semua mobil ia hitung, hanya mobil yang berwarna hitam. Jika ia lihat ada yang juga berkaca hitam, menangislah ia.
Namanya Pak Itam. Kata penjual nasgor di dekat Pak Itam biasa menghitung mobil hitam dengan jarinya. Jari yang juga berkuku hitam. Pak Itam sekarang tinggal seorang diri. Anaknya pergi, kabur dengan pria berkacamata hitam, katanya. Istrinya pun entah dimana, dibawa kabur pria bermobil hitam. Pak Itam jatuh dalam kesedihan tak bertepi. Hari-harinya kelam pekat. Rumahnya tampak lengang dan sunyi. Senyum tak lagi sudi mampir di wajahnya. Kesendirian kian menggerogoti tawa dan senyumnya. Semakin tahun ia tak pernah berbicara dengan orang lain. Entah tetangga dekat ataupun warga sekitar rumahnya. Ia sering terlihat berjalan sendiri dengan kepala tertunduk. Tak jarang ia berbicara sendiri atau terlihat meneteskan air mata saat duduk di teras rumahnya.
Akhirnya suatu hari ia pergi ke dukun berilmu hitam. Kata si dukun berjubah hitam itu, istri dan anaknya akan kembali bersama mobil hitam ke 1000 di waktu malam. Sejak saat itu Pak Itam terus menghitung mobil berwarna hitam saat malam.
Malam tadi ia telah berhasil menghitung 999 mobil hitam di waktu malam. Ia sangat yakin telah menghitungnya dengan benar selama 40 tahun terakhir. Maka sore hari setelah ia bangun dari tidurnya, ia bersiap dengan penuh harap. Ia sisir rambutnya yang tak lagi hitam. Ia potong kuku-kukunya yang hitam. Dan ia kenakan baju biru, warna kesukaan istrinya dahulu. Ia gunakan sepatu kulit berwarna hitam dengan semir hitam mengkilap.
Entah apa rencana Tuhan, malam ini tak ada mobil hitam yang lewat di jalan ini. Wajahnya tampak sangat murung. Matanya sayu. Ia pun tak segera pulang dan tidur seperti pagi-pagi sebelumnya. Ia duduk melamun di teras rumahnya. Menatap kosong ke jalanan yang juga kosong. Rumahnya berada di sudut kampung, di ujung jalan buntu. Maka, tak akan ada seorang pun yang akan melewati rumahnya. Ia masih merenung saat matahari telah berada tepat di atas kepalanya. Tak seperti biasanya.
Senja mulai datang dan ia baru saja masuk ke rumahnya dengan langkah yang berat. Malam semakin ranum. Pak Itam belum juga berada di singgasananya. Penjual nasgor, penjual martabak, dan penjual gorengan mulai bertanya-tanya. Mereka bahkan mulai menduga-duga. Namun tak ada satupun yang berani datang ke rumah bercat hitam di ujung Gg. Hitam, Kp. Putih, Kec. Hitam Putih, Kota Warna. Hingga pagi datang Pak Itam tak juga muncul.
Tiga hari kemudian, mobil hitam ke 1000 datang. Saat istri dan anak pak Itam keluar dari mobil hitam itu, raut wajah mereka seketika berubah drastis. Awan pun seketika menjadi kelam menghitam. Hujan datang.
Bendera hitam menari pelan tersapu angin dan rintik hujan. Pak Itam telah berpulang, saat istri dan anaknya kembali pulang.
“Hidup memang selalu tentang merelakan yang pergi dan dan bersiap pada yang datang.”

Matheus Aribowo
Salatiga, 9 September 2017
*Pict : http://daftarwisatajogja.blogspot.co.id/2016/05/daftar-wisata-malam-hari-di-yogyakarta.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi : Kamus Kecil - Joko Pinurbo

Diambil dari : Suar Aksara - Sudah Saatnya (Bandung)

Sambi Lalu