Belajar Dari Siapa Saja
16/02/2015
Siang itu tak secerah hari lain.
Ketika jam tangan menunjukan pukul 13.00, berjalanlah kami berdua menuju Gereja
depan kampus. Walau perut masih kenyang selepas makan siang, tapi harus tetap
berjalan cepat karena takut terlambat. Sampai di depan Gereja dimana tiga teman
kami sudah berada disana. Kemudian disusul dua teman lagi datang agak terlambat.
Kami bertujuh pun berangkat ke
Bawen dengan angkutan umum. Sampai di bawen, kami pun (anak-anak kost) iuran
untuk membawakan sedikit hadiah kecil untuk teman-teman kami. Teman-teman kami
yang tinggal di Pondok Diakonia. Sebuah Panti yang cukup besar di daerah Bawen.
Aku katakan cukup besar karena Panti ini menjadi rumah bagi sekitar 150
anak-anak sampai lansia.
Sambutan hangat nan sederhana
kami dapatkan dari seorang ibu pengasuh. Tentu beberapa anak yang melihat turut
melempar senyumnya pada kami. Bagi ku panti ini masih asing, karena baru kali
pertama aku berkunjung. Namun semua berbeda, setelah seoragng ibu pengasuh lain
datang dan mengajak kami berkeliling panti.
Keenam temanku langsung
mengekor langkah ibu tadi. Tidak denganku yang masih memakai sepatu didekat
zona balita. “Darimana mas?” tanya
tegas seseorang dari sebelahku. “Hai,
saya dari Salatiga.” Sapaan tadi mengawali serangkaian panjang perbincangan
kami. Aku pun berpisah dari rombonganku.
Tapi tak khawatir karena John
(seseorang yang menyapaku tadi) ternyata juga sangat mengenal panti ini. Tak
hanya setiap tempat, bahkan semua kebiasaan disini dia ingat dengan baik.
Diajaknya aku berkeliling panti, dan diperlakukannya aku seperti tourist di tempat wisata.
John bercerita panjang lebar, dan
ceritanya seperti membangunkanku dari kenyamanan dunia. John adalah seorang
mahasiswa tahun kedua Fakultas Teknik Informatika dikampus yang sama dengan ku.
Menjawab tanya di kepalaku bahwa aku pernah bertemu sebelumnya tapi entah
dimana. Ya, John juga cukup aktif berorganisasi dikampus. Kami pernah berjumpa
dalam sebuah seminar yang menghadirkan Ridho (gitaris Slank) dan Pencetus Solo
Mengajar.
Masih terus bercerita, John
membawa ku ke setiap sudut panti ini. Sampai pada pengakuan John bahwa dia dulu
juga tinggal disini. Namun karena suatu alasan dia harus keluar darisini. Setelah
keluar dari panti, dia harus berjuang hidup sendiri. Dimana ketika itu dia
masih bersekolah di SMK. Kernet angkutan umum, pelayan rumah makan, tour guide adalah beberapa cara
mempertahankan hidupnya. Selain itu juga pekerjaan serabutan lainnya pernah dia
jalani.
Dia tak mau bermanja seperti
remaja lain diluar sana. John tak ingin kalah dengan sisi kejam kehidupan.
Walau dia tak pernah tau, siapa Ibu, siapa Ayah dan siapa saudara kandungnya. Keluarga
yang dia punya adalah panti tempat dulu dia tinggal.
Kami tiba disamping scooter biru donker bersih kinclong yang
terparkir rapi dan lengkap dengan helm retro diatasnya. Dengan senyumnya, John
mengatakan “kalau lihat scooter ini di Salatiga berarti itu saya mas.” “Ini
scooter kamu John? Keren!” Ya, itu scooter
kebanggaan milik John.
Dari ceritanya tentang scooter itu, aku tau dia sangat bangga
dan sayang dengan scooternya. Scooter
itu dia dapat dengan menabung sejak dia kecil. Termasuk tabungan ketika dia
bekerja kesana kemari. Sejenak aku turut merasa bangga dengan scooter itu, bukan karena tampilannya
yang asyiik dan keren. Tapi karena siapa pemiliknya dan dengan apa dia
dimiliki.
Aku yakin, John memiliki scooter itu dengan hatinya. Itu adalah wujud
nyata mimpi masa kecilnya. Hari itu hari yang istimewa bagiku, karena boleh
mengenal John dan mendengar banyak ceritanya. Boleh diajaknya melihat adik-adik
lain bermain angklung (alat musik tradisional). Bermain gitar, dan ada pula
yang belajar mata pelajaran seperti di pendidikan formal.
Rintik hujan sore itu
mengantarkan kami kembali ke Salatiga. Namun aku merasa, setiap tetes air yang
jatuh itu membawa pesan. Pesan tentang kehidupan, bahwa kerasnya hidup justru membuat
kita semakin kuat dan berguna jika kita berserah pada Sang Kuasa. Mengingatkan juga, bahwa kita tidaklah sendiri.
Seperti awan yang rela jatuh
menjadi hujan, mereka membasahi bumi. Mereka menjaga bumi tetap sejuk. Mereka
membuat burung-burung di udara tak khawatir jika kehausan. Mereka membuat
rerumputan tak malu bertumbuh lebat. Mereka membawa kegembiraan di kebun, di sawah
dan di hati setiap mereka yang menantikan hujan.
“Belajarlah dari kehidupan, karena kehidupan memiliki banyak kisah
indah di akhir cerita susah.”
Terima kasih John Fredy.
Pict : http://underthebluedoor.org/2013/07/31/life-isnt-about-waiting-for-the-storm-to-pass-its-about-learning-to-dance-in-the-rain-vivian-greene/
Komentar
Posting Komentar