Tanya Tak Terjawab

11/02/2015

“Banyak jalan menuju Roma” ialah ungkapan klasik yang sering kita dengar. Sekilas kita mengira ungkapan itu akan mengantarkan kita ke Roma. Tetapi pernahkan mendengar sebuah bisikan lirih dari lembah yang begitu dalam? Dia berbisik, ungkapan itu tak akan membawamu ke Roma. Ungkapan itu justru membawa kita kepada sebuah persimpangan jalan. Persimpangan jalan yang masih sangat jauh dari Roma. Dan sebuah persimpangan jalan yang tak terhitung seberapa banyak jalan yang bisa kita lewati.

Lalu kita sering juga mendengar “hidup itu jalani aja, nikmati aja”. Kalimat itu tak membawa kita pada nikmatnya hidup. Kalimat itu juga membawa kita pada persimpangan jalan, persimpangan jalan menuju hidup yang kita kehendaki.

Tanpa kita bertanya, sebenarnya jalan-jalan itu yang kita hidupi. Ada jalan amarah. Ada jalan dendam. Ada jalan iri dengki. Ada jalan keangkuhan. Ada jalan kebimbangan. Ada jalan kesombongan. Ada jalan ketakutan. Ada jalan keyakinan. Ada jalan kebahagiaan. Ada jalan ketulusan. Ada jalan keberanian. Ada jalan berbunga, penuh cinta.

Setiap kita sering memilih tanpa mata untuk melihat. Tanpa telinga untuk mendengar. Tanpa jari-jari kasar untuk meraba. Karena memang kita sering tak melihat, sering kita tak mendengar. Pun juga kita sering tak mau menyentuh walau dekat, terlihat dan terdengar.

Manusia, punya rasa yang mereka sebut cinta. Cinta, sebuah rasa yang begitu di agungkan manusia. Mampukah cinta menahan awan agar ia tak jatuh ke bumi? Mampukah cinta mengembalikan malam ketika pagi datang? Mampukah cinta merubah biru warna langit? Dan mampukah cinta jujur seperti cermin?

Jika hembusan angin adalah bisikan alam, kemana ia kala kita tertidur? Jika cahaya adalah cara alam menyapa, kemana ia kala mata kita tertutup? Jika ombak adalah tawa sang samudera, kemana ia kala badai murung?

Jika mata membuat kita melihat, kemana seharusnya mata kita memandang? Jika mulut terlalu sering berkata-kata, siapa yang harusnya diam? Jika hidung tak mengenal harum, siapa yang ingin ia cium? Jika kulit lupa cara meraba, apa yang harusnya tak tersentuh? Jika hanya telinga yang harus mendengar, mengapa hati tahu mulut menjerit?

Ku terjatuh dan tangan datang menopangku. Ku lelah dan bahu memberiku tempat bersandar. Ku terdiam sepi, kaki mengajakku berjalan ke arahmu.

Kemarin selalu berlalu tanpa perpisahan yang penuh haru. Hari ini menjawab begitu banyaknya tanyaku. Esok melambai tanpa menunjukan jalan untukku kesana.


Jika setiap pertanyaan memiliki jawaban, kemana mataku harus memandang? Siapa yang dituju langkah kakiku? Suara apa yang terdengar oleh hatiku? Berapa kali tanganmu mampu menopang ku saat kembali ku terjatuh? Jika setiap pertanyaan harus dijawab, dengan apa cermin yang jujur itu menjawab tanyaku?

Pic : https://enlightenmentorsalvation.wordpress.com/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Diambil dari : Suar Aksara - Sudah Saatnya (Bandung)

Puisi : Kamus Kecil - Joko Pinurbo

51 yang (Ber)lalu